Kamis, 22 Maret 2012

NU Pinggiran: Sembahyang Hadiyah untuk Mayit

NU Pinggiran: Sembahyang Hadiyah untuk Mayit: Kematian bagi makhluk hidup adalah suatu kemestian. Meskipun berbeda cara dan penyebabnya sakit, tua, kecelakaan, dan seterusnya. Jasad...

Sembahyang Hadiyah untuk Mayit


Kematian bagi makhluk hidup adalah suatu kemestian. Meskipun berbeda cara dan penyebabnya sakit, tua, kecelakaan, dan seterusnya. Jasadnya pun, bisa dimana saja, atau musnah sama sekali tanpa bekas. Kematian lambat atau cepat adalah mutlak bagi makhluk termasuk manusia.
Manusia adalah makhluk yang terbebani tanggung jawab dalam hayatnya, terutama terhitung sejak baligh. Perbuatan manusia akan dibalas menurut baik dan buruknya. Pertanggungjawaban mereka akan dihisab kelak di hari Kiamat. Allah sebagai hakim yang adil, takkan keliru dalam menghitung dan mengadili amal setiap orang.Namun, sebelum pembalasan hari Kiamat, nikmat dan siksa kubur benar adanya. Manusia yang telah terpisah jiwa dari raganya, akan didatangi malaikat untuk pertanyaan tentang Tuhan, rasul, pedoman hidup dan seterusnya. Malaikat ini akan bersikap sesuai perintah, menyiksa dan memberikan nikmat bagi mayit.
Manusia kecuali para rasul, dalam hidupnya tak lepas dari dosa. Dosa inilah yang lalu mesti ditebus dengan siksa kubur oleh yang bersangkutan. Jerit pedih mereka yang sudah mati memang tak didengar oleh manusia yang hidup. Dalam keterangan Rasulullah, hanya hewan hidup lah yang mendengar jeritan mayit yang tersiksa. Mayit pun harus menanggung kelakuan buruknya di dunia. Mereka hanya bisa menerima siksa tanpa bisa melakukan sesuatu apapun.
Mengingat itu, kita yang masih hidup mesti mengambil satu langkah agar dapat meringankan siksa kubur mayit. Lebih istimewa lagi, kita lakukan terhadap orang yang kita kenal, cintai atau yang sangat berjasa dalam kehidupan kita, orang tua, guru, atau kiai.
Diantaranya dengan memberikan hadiah kepada mayyit. Hadiah itu bisa berupa shalat dua rakaat atau berupa sedekah yang pahalanya ditujukan kepada mayyit. Seperti yang diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya;
روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لا يأتى على الميت أشد من الليلة الأولى, فارحموا بالصدقة من يموت. فمن لم يجد فليصل ركعتين يقرأ فيهما: أي في كل ركعة منهما فاتحة الكتاب مرة, وآية الكرسى مرة, وألهاكم التكاثر مرة, وقل هو الله أحد عشر مرات, ويقول بعد السلام: اللهم إني صليت هذه الصلاة وتعلم ما أريد, اللهم ابعث ثوابها إلى قبر فلان بن فلان فيبعث الله من ساعته إلى قبره ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه إلى يوم ينفخ فى الصور.
Diriwayatkan dari Rasulullah, Ia bersabda, “Tiada beban siksa yang lebih keras dari malam pertama kematiannya. Karenanya, kasihanilah mayit itu dengan bersedekah. Siapa yang tidak mampu bersedekah, maka hendaklah sembahyang dua raka‘at. Di setiap raka‘at, ia membaca surat Alfatihah 1 kali, Ayat Kursi 1 kali, surat Attaktsur 1 kali, dan surat Al-ikhlash 11 kali. Setelah salam, ia berdoa, ‘Allahumma inni shallaitu hadzihis shalata wa ta‘lamu ma urid. Allahummab ‘ats tsawabaha ila qabri fulan ibni fulan (sebut nama mayit yang kita maksud),’ Tuhanku, aku telah lakukan sembahyang ini. Kau pun mengerti maksudku. Tuhanku, sampaikanlah pahala sembahyangku ini ke kubur (sebut nama mayit yang dimaksud), niscaya Allah sejak saat itu mengirim 1000 malaikat. Tiap malaikat membawakan cahaya dan hadiah yang kan menghibur mayit sampai hari Kiamat tiba.” [Syekh Nawawi Albantani, Nihayatuz Zain, (Bandung, Almaarif) Hal. 107].
Hadiah semacam ini dalam tradisi Islam Nusantara dikenal dengan berbagai sebutan sesuai kaedah local masing-masing. Ada yang menyebutnya ‘tahlilan’, ada yang menyebutnya arwahan, ada yang menyebut samadiahan dan lain sebagainya. Semua itu merupakan perilaku terpuji yang telah me-tradisi dalam wacana Islam Nusantara. Begitu pula dengan shalat hadiah dua rakaat untuk mayit, yang kesunnahannya dilakukan saat malam pertama mayit meninggal. Walaupun taka apa pula jika dilakukan setelah jauh-jauh hari sepeninggal si mayit.
Pahala dari berbagai hadiah itu juga mengalir bagi kita yang masih hidup dan melakukannya, seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits
أن فاعل ذلك له ثواب جسيم, منه أنه لا يخرج من الدنيا حتى يرى مكانه فى الجنة.
“Siapa saja yang melakukan sedekah atau sembahyang itu, akan mendapat pahala yang besar. Di antaranya, ia takkan meninggalkan dunia sampai melihat tempatnya di surga kelak.”
Sejumlah ulama menganjurkan akan baiknya sembahyang 2 raka‘at ini. Ringan dan mudah dilakukan, “Beruntunglah orang yang melakukan sembahyang ini setiap malam dan menghadiahkan pahalanya untuk mayit kaum muslimin.”
Sebagai umat Islam, kita dipanggil untuk peduli dan menanam bibit kasih sayang terhadap alam, hewan dan manusia baik hidup maupun sudah meninggal. Hanya saja, bentuk kasih yang dipersembahkan mesti disesuaikan bagi penerimanya. Untuk saudara kita yang sudah meninggal, kita bisa melakukan sedekah dan sembahyang 2 raka‘at di atas.
Inilah yang dicontohkan Rasulullah SAW. para ulama dan kiai mengawetkan ajaran luhur Rasulullah dengan menuliskan, mengajarkan, menyontohkannya kepada masyarakat luas. Dengan demikian, ajaran Nabi Muhammad SAW. akan lestari hingga hari akhir kelak.

Sabtu, 03 Maret 2012

NU Pinggiran: DALIL-DALIL KHUSUS KAUM SALAFI DAN WAHABI

NU Pinggiran: DALIL-DALIL KHUSUS KAUM SALAFI DAN WAHABI: Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA'AH DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW ...

DALIL-DALIL KHUSUS KAUM SALAFI DAN WAHABI



Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi
  • DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA'AH
  • DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW
  • DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW
  • DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN
Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadis-hadis Rasulullah Saw., ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.
Contohnya, hadis-hadis Rasulullah Saw. yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung beliau seperti yang dilakukan kaum nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan beliau dengan sebutan sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw., larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid. Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadis, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.
Syaikh Ali Jum'ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya beliau yang berjudul al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba'dhi al-Mafahim, atau dalam edisi terjemah berjudul Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.   
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid'ah atau sesat suatu amalan dengan serampangan, semata-mata karena melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna haram.
1. DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA'AH
Salah satu dalil khusus yang paling jelas menyebutkan larangan berzikir berjamaah atau menghitung bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih, adalah perkataan Abdullah bin Mas'ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi. Dalil ini tampaknya sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk mengharamkan kegiatan tahlilan dan zikir berjama'ah serta melabelkan padanya tuduhan bid'ah.
Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut:
Dari 'Amr bin Yahya, dia berkata, "Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata, 'Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa al-Asy'ari Ra. Dan berkata, 'Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas'ud) telah keluar pada kalian?' Kami menjawab, 'Belum.' Lalu dia pun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas'ud keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy'ari berkata, 'Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, 'Apa itu?' Abu Musa menjawab, ' Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri.' Abu Musa lalu berkata, 'Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, 'Bacalah takbir 100 kali,' mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, 'Bacalah tahlil   100 kali', mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, 'Bacalah tasbih 100 kali', mereka pun bertasbih 100 kali.
Abdullah bin Mas'ud bertanya, 'Apa yang kamu katakan pada mereka?' Abu Musa menjawab, 'Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!' Abdullah bin Mas'ud menjawab, 'Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?' Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata, 'Apa yang kalian sedang kerjakan?' Mereka menjawab, 'Wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi Saw., masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan.'
Mereka menjawab, 'Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur'an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.' Kemudian dia pergi. Amr bin Salamah berkata, 'Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij." (Hadis ini diriwayatkan oleh ad-Darimi).
Riwayat tersebut sepertinya dianggap mewakili dalil khusus yang jelas-jelas melarang zikir berjama'ah, atau melarang menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih. Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan tersebut atau untuk memvonis bid'ah amalan berzikir berjama'ah atau menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:
1. Bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw., "Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red)." (Hadis Shahih riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain). Abdullah bin Mas'ud Ra. Tidak mungkin tidak mengetahui hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini.
2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw. juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti: Bacaan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, yang masing-masing dibaca 33 kali, atau tentang keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa 'ala kulli syai'in Qadiir sebanyak 100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari 100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah bacaan zikir.
3. Rasulullah Saw. tidak pernah melarang shahabat untuk menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti Abu Darda' Ra. dan Abu Hurairah Ra. memiliki sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk berzikir (lihat az-Zuhd, Abu 'Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya', juz 1 hal. 383, dan lain-lain).
4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas'ud Ra. di atas memiliki kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat 'Amr bin Yahya bin 'Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh Yahya bin Ma'in dan Ibnu 'Adi.
5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan/sabda Rasulullah Saw., melainkan perkataan pribadi Abdullah bin Mas'ud Ra. (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat). Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi  tidak termasuk hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan hukum kecuali bila sejalan dengan hadis Rasulullah Saw., karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy'ari pertama kali pada riwayat di atas saat ia berkata, "alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan" . Bagaimana mungkin Abdullah bin Mas'ud tidak dapat melihat kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy'ari tentang halaqah zikir di masjid itu, sementara pada riwayat lain Abdullah bin Mas'ud pernah berkata: "… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka dia adalah baik menurut Allah" (Riwayat Ahmad).Sungguh ini merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak bertentangan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw., maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan dalil melarang zikir berjama'ah atau menghitung jumlah zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan.
6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas'ud Ra. sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan zikir berjamaahnya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu umat Islam. Buktinya, Abdullah bin Mas'ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan peringatan Rasulullah Saw. tentang akan munculnya " sekelompok orang yang membaca al-Qur'an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja " , yang disinyalir oleh para ulama sebagai kelompok khawarij. Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama 'Amr bin Salamah, 'Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij."
2. DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW.
Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:
بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.
"… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, 'Aku menziarahi kubur Nabi Saw.' sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw. yang di dalamnya terdapat lafaz 'menziarahi kuburnya', niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku ."
Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw. dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, "Aku malu kepada Allah ta'ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)" (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180). Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Saw. seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw.? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari  juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan "aku menziarahi kubur Nabi saw." adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari'atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma' para ulama.
Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan "aku menziarahi Rasulullah Saw."  dari pada ungkapan "aku menziarahi kubur Rasulullah Saw." berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw. di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka Rasulullah Saw. yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.  
Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut. Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat 'illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata "masjid". Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.
3. DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW.
Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan untuk memuji atau menyanjung Rasulullah Saw., dan ini dijadikan dasar untuk menganggap bid'ah atau sesat sya'ir-sya'ir qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw. tentang hal itu bunyinya begini:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)
"Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah 'hamba Allah dan Rasul-Nya" (HR. Bukhari)
Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah memahami hadis ini sebagai larangan mutlak memuji-muji atau menyanjung Rasulullah Saw. secara berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus sebagai Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai upaya "pengkultusan" yang dapat dikategorikan sebagai syirik. Padahal, memuji atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan "mengkultuskan".
Habib Muhammad bin 'Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. kemudian menyuruh umatnya untuk selalu "menyadari" bahwa beliau hanyalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.
Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah "mengkultuskan" Rasulullah Saw. dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau memuji beliau, menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga patut diikuti.
Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk memuji atau menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu' (rendah hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk Islam. Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap "memuliakan" itu sangat berbeda dari sikap "mengkultuskan", dan dalam rangka memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri beliau.
Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan sikap pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al-Qur'an, sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung."
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw. itu sebagai ciri orang yang beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya:
"… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raaf: 157).
Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap sya'ir-sya'ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang shaleh sebagai bid'ah sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap "berlebihan" dalam memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan "batasan Pas'nya" dan "batasan lebihnya" dengan dalil yang jelas, sambil bertanya, "kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau Nasrani kah?"
Bila Rasulullah Saw. sudah dianggap tidak lebih dari manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai seseorang bernama "Muhammad" yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Bagaimana mungkin kita mengingkari awan yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak dan susu Halimatus-Sa'diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya; atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut keistimewaan beliau itu dalam sya'ir-sya'ir pujian?
Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw. seperti kehabisan kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara' bin 'Azib Ra. berkata, "Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau" (HR. Bukhari).
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, "… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau" (HR. Tirmidzi).
Anas bin Malik Ra. berkata, "Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi  yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw." (HR. Ahmad).
'Aisyah Ra. ummul-Mu'miniin berkata, "Adalah akhlak beliau itu al-Qur'an" (HR. Ahmad).
Delegasi Bani 'Amir berkata kepada Rasulullah Saw., "Engkau adalah tuan kami." Rasulullah Saw. menjawab, "Tuan itu adalah Allah tabaraka wata'ala." Delegasi itu malah terus berkata lagi, "Dan engkau adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami." Rasulullah Saw. berkata, "Katakanlah dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya (untuk menyesatkan dengan kata-kata)" (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau, tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji atau disanjung karena sifat tawadhu' (rendah hati), bukan karena haram melakukannya.        
Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan keyakinan di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan beliau.       
Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya'ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw. sebagai: Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya (nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap "menuhankan" (mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt., sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan "sebab" tercapainya hal-hal tersebut melalui dakwah, teladan, syafa'at, dan do'a-do'a beliau.
Para ulama yang menulis sya'ir-sya'ir pujian itu pasti sangat mengerti batasan tentang "porsi" Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan "porsi" makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.  
Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya adalah sah menurut al-Qur'an dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz 'aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan  iman mereka  dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal" (QS. Al-Anfaal: 2).
"Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban" (QS. Al-Muzzammil: 17).
Pada ayat pertama diatas, Allah menyebutkan seolah "ayat-ayatNya" dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah "hari" lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah ketika dinisbatkan kepada Rasulullah  Saw., maka maksudnya adalah majaz aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah "sebab" tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah bagaimana Allah sendiri menyebutkan:
"… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (QS. Asy-Syuuraa: 52).
Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid (tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)
" Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa'at, serta orang pertama yang diberi syafa'at" (HR. Muslim)  
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi lain sangat "menghindarkan diri" dari memuliakan dan menyanjung pribadi beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang. Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau pemuliaan dari orang yang mengenalnya.
Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.     
Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal "bekal" kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul? Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw. dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah beliau? Anda ingin tahu jawabannya?
Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw., lalu kekaguman terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti, setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bahkan dengan hanya menyebut nama beliau saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan Sufyan bin 'Uyainah berkata:
عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)
   "Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat" (Lihat Hilyatul-Awliya', al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).
وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)
Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja'far bin Hamdan, "Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?" Abu Ja'far menjawab, "Benar". Abu Utsman berkata, " Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh" (Siyar A'laam an-Nubala', adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)
Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi yang terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah Saw., maka sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw., karena mereka menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:
1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al-Qur'an dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.
2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.          
Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw., sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala. Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; mengarahkan umat untuk kagum kepada "rahmat bagi sekalian alam" (yaitu Rasulullah Saw.) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau; serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.       
Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya. Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip kesombongan dan kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang lebih utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw. telah bersabda:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ الله ِ (روا مسلم)
"Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah" (HR. Muslim).
Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid'ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:
أن رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب الإيمان ج. 2، ص. 21)     
Sesungguhnya ada  seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta'ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), "Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?" Allah menjawab, "Neraka!" Orang itupun berkata, "Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?" Allah menjawab, "Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!" (lihat al-Jami', Ma'mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu'abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21) 
Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi & Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah Saw. sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat beliau, lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti "ikut-ikutan" dalam hal itu sehingga tega melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha "membunuh karakter" Rasulullah Saw. dari hati para pengikutnya??!  
4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN
Di antara dalil khusus yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanantermasuk daripada meratap" (HR. Ibnu Majah).
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggapberkumpul di keluarga mayit dan membuat makanansetelah penguburannyatermasuk daripada  meratap" (HR. Ahmad).
Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut "niyahah" adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, "Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama'/punya sifat rahmat)" (HR. Bukhari). Rasulullah Saw. juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.
Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.
Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada 'illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali. Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan "oncom" sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.   
Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi'I atau ulama lain saat mengatakan "akrahu" (saya membenci), "makruh" (dibenci), "yukrahu" (dibenci), "bid'ah munkarah" (bid'ah munkar), "bid'ah ghairu mustahabbah" (bid'ah yang tidak dianjurkan), dan "bid'ah mustaqbahah" (bid'ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum "makruh" untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta'ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo'akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.
Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I'aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo'a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I'anatuth-Thalibiin.
Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku "Membongkar Kesesatan Tahlilan" (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku "Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali" (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
"Dan di antara bid'ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya" (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
"Di antara bid'ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram" (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك ( إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)
Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
"Dan di antara bid'ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya." (I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).  
Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan "pengharaman" agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
"… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: 'Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram."
Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis "bodoh", "kufur", dan "syirik" yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.
Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi "makruh") sebagaimana termaktub di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك      وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)
(Sayid Bakri Syatha' ad-Dimyathi, penulis I'aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah "apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta'ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta'ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta'ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: 'Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far', apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?" (lihat I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).
Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta'ziyah itu dalam hal mana"merekamenunggu makanan" di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid'ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum "haram" kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.           
Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta'ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta'ziyah yang datang.
Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang "keberatan" dan "beban" keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikitpun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu. Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap "makruh" dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang "makruh" tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo'akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo'akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!
Jika alasan "berkumpulnya orang akan menambah kesedihan" membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah "kebaikan" bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?
Sungguh, hukum "makruh" yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi "menambah kesedihan atau beban kerepotan" meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo'akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.
Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.
********
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid'ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan. Akibatnya, "larangan" yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa "larangan" tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw. tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw. sendiri saat beliau minum sambil berdiri.

NU Pinggiran: NU Pinggiran: KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DAL...

NU Pinggiran: NU Pinggiran: KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DAL...: NU Pinggiran: KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL : 1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khu...

KEUMUMAN LAFADZ HADITS TENTANG BID'AH TELAH DI "KHUSUSKAN" BUKAN "DIRINCIKAN"



Keumuman Lafaz Hadis Tentang Bid'ah Telah "Dikhususkan", Bukan "Dirincikan"
Dari uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa perkara baru di dalam agama yang disebut sebagai muhdatsat atau bid'ah di dalam hadis-hadis yang dijadikan dasar oleh kaum Salafi & Wahabi itu seluruhnya bersifat "umum" atau "global", sehingga tidak bisa digunakan untuk menghukumi perkara-perkara "khusus" seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., peringatan Isra' & Mi'raj, acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan, dan lain sebagainya, kecuali bila ada hadis yang menyebutkan keharamannya secara terperinci.
Tentang dalil umum, Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat:
احتج الجمهور بأن كل عام يحتمل التخصيص حتى إنه شاع بين العلماء ((ما من عام إلا وقد خص منه البعض)) . فالتخصيص شائع كثير في العام، بمعنى أنه لا يخلو عنه إلا قليلا، وذلك بقرينة . (أصول الفقه الإسلامي، وهبة الزحيلي، دار الفكر، دمشق، ج. 1، ص. 245).
 Jumhur berhujjah bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan takhsish (pengkhususan), sehingga telah tersebar (motto) di kalangan ulama: " Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya". Maka takhsish (pengkhususan) banyak tersebar pada yang umum. Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu dalil umum) daripadanya (takhsish) melainkan sedikit, itupun dengan qarinah (kata/kalimat penjelas makna yang mengiringi dalil yang  umum). (Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Dar el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245).   
اتفق أهل العلم سلفا وخلفا على أن التخصيص للعمومات جائز ولم يخالف في ذلك أحد ممن يعتد به وهو معلوم من هذه الشريعة المطهرة لا يخفى على من له أدنى تمسك بها حتى قيل إنه لا عام إلا وهو مخصوص إلا قوله تعالى والله بكل شيء عليم (إرشاد الفحول، محمد بن علي الشوكاني، دار الفكر، بيروت، ص. 246).
Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish (pengkhususan) bagi keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja'iz), dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dianggap (keilmuannya) yang menentangnya, dan hal itu sudah diketahui termasuk dari syari'at yang suci ini, tidak tersembunyi (bahkan) bagi orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari'at tersebut, sehingga dikatakan, "Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang umum melainkan dia sudah dikhususkan", kecuali firman Allah ta'ala, "Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Lihat Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246).
Pendapat jumhur (mayoritas) ulama seperti di atas merupakan hasil penelitian yang seksama terhadap seluruh dalil umum yang terdapat di dalam al-Qur'an dan hadis. Kesimpulan jumhur ulama bahwa "Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumumannya)" boleh dianggap sebagai kesimpulan final, di mana agama telah sempurna dan wahyu atau hadis tidak turun lagi atau tidak dikeluarkan lagi, maka tidak mungkin Allah atau Rasulullah Saw. meninggalkan "PR" (pekerjaan rumah) bagi umat untuk mencari-cari maksud sesungguhnya dari suatu ayat atau hadis yang bersifat umum, sehingga akan memunculkan perbedaan pengertian yang bisa berakibat fatal. Jika seandainya masih ada tersisa dalil umum yang belum ditakhsish (dikhususkan), maka pastilah akan menimbulkan tanda tanya tentang maksud keumumannya yang mengandung ketidakjelasan.
Pada kasus dalil tentang muhdatsat dan bid'ah misalnya, ketika disebutkan " setiap bid'ah (perkara baru) adalah kesesatan", maka secara harfiyah atau lughawiyah (bahasa) akan mencakup "semua perkara baru" yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. baik yang berhubungan dengan agama, adat istiadat, maupun perkara kebutuhan hidup duniawi, seperti: Pekerjaan, pakaian, kendaraan, makanan, minuman, peralatan, bangunan, dan lain-lainnya. Tentu pengertian umum seperti ini akan menimbulkan syubhat (ketidakjelasan), bahwa di satu sisi memang lafaz  "setiap bid'ah adalah kesesatan" adalah lafaz umum, di sisi lain cakupan keumuman lafaz itu kepada setiap hal yang baru akan mempersulit kehidupan manusia yang tidak sama dengan kehidupan Rasulullah Saw., entah menyangkut masa hidupnya, makanannya, kebiasaannya, iklimnya, wilayahnya, bahasanya, budayanya, ataupun yang lainnya.  
Kaum Salafi & Wahabi sepertinya ngotot bahwa hadis tentang bid'ah itu harus diberlakukan keumumannya seperti apa adanya dan tidak boleh dikhususkan pada sebagian "perkara baru" saja, sehingga dengan begitu kata bid'ah tidak boleh dimengertikan sebagiannya sebagai kesesatan dan sebagian yang lain tidak. Itu artinya mereka bersikukuh menolak takhsish (pengkhususan) pada hadis tersebut, karena jelas-jelas lafaznya bersifat umum. Tapi kemudian setelah ternyata memang tidak mungkin memberlakukan keumumannya pada "setiap perkara baru" sampai kepada urusan kebutuhan hiduap duniawi seperti pakaian, kendaraan, atau lainnya, maka kemudian mereka menyatakan bahwa maksudnya adalah "setiap perkara baru di dalam agama" berdasarkan hadis lain yang mengisyaratkannya. Sampai di sini, mereka masih tidak sadar bahwa pembatasan "setiap perkara baru" dengan ungkapan "di dalam agama" yang mereka nyatakan berdasarkan dalil lain itu adalah takhsish (pengkhususan) namanya. Jadi, mereka mengaku menolak takhsish pada hadis tersebut, padahal mereka dengan tidak sengaja dan terpaksa telah menggunakannya.
Takhsish sebatas ini pun masih belum cukup jelas alias masih mengandung syubhat (ketidakjelasan), karena urusan "di dalam agama" itu sangat banyak kategorinya, mencakup: Perintah & larangan, wajib & sunnah, pokok (ushul) & cabang (furu'), murni (mahdhah) & tidak murni (ghairu mahdhah), halal & haram, dan lain sebagainya. Maka, "setiap perkara baru (bid'ah)  di dalam agama" pada kategori yang manakah yang dianggap sebagai "kesesatan"? Apakah mencakup keseluruhan kategori tersebut atau hanya sebagiannya?  
Tampaknya, Kaum Salafi & Wahabi sudah mencukupkan diri dengan takhsish (pengkhususan) sebatas ini, di mana "setiap (bid'ah) perkara baru" yang dianggap kesesatan dikhususkan menjadi "perkara baru di dalam agama", dan itu mencakup keseluruhan kategori di dalam urusan agama. Dari pengertian inilah akhirnya mereka terjebak pada definisi yang tidak jelas, sehingga "perkara baru di dalam agama" yang tanpa batasan kategori atau kriteria itu berubah menjadi "perkara baru berbau agama dan berbau ibadah". Akibatnya, mereka jadi paranoid terhadap segala macam perkara baru; apa saja yang dikerjakan orang yang mengandung "unsur" berbau agama, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang mereka anggap tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabatnya, langsung dituduh sebagai menambah-nambahi agama dengan "perkara baru atau ibadah baru". Padahal, yang mengucapkan atau melakukannya tidak pernah bermaksud begitu.    
Pantas saja, bahkan urusan lumrah seperti mengucap alhamdulillah ketika bersendawa dianggap tidak layak dilakukan hanya karena –menurut mereka— tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. (lihat Ensiklopedia Bid'ah halaman 365), padahal merasa mendapat nikmat karena sendawa atau karena apa saja, dan banyak memuji Allah adalah merupakan sikap yang bukan saja tidak dilarang, bahkan terpuji dan disukai di dalam agama. Dan banyak lagi amalan-amalan yang lumrah dan dimaklumi kebaikannya bahkan oleh akal seorang awam sekalipun yang dianggap bid'ah oleh kaum Salafi & Wahabi hanya karena "berbau agama dan berbau ibadah", seperti: Berwudhu sebelum menyembelih hewan,  bershalawat setelah adzan, peresmian masjid dengan acara perayaan, naik ke Jabal Nur untuk melihat gua Hira, membaca do'a dari buku panduan ibadah haji, membaca surat al-Fatihah setelah berdo'a, membaca al-Qur'an dan do'a sebelum adzan Shubuh, membaca al-Fatihah saat akad nikah, membaca shadaqallahul-'azhim (Maha Benar Allah yang Maha Agung) setelah membaca al-Qur'an, membaca al-Asma' al-Husna setelah shalat, dan lain sebagainya yang sesungguhnya tidak ada larangannya di dalam agama.
Jika mereka mengharamkan hal-hal itu dan menuduhnya sebagai bid'ah hanya karena alasan Rasulullah Saw. tidak melakukannya padahal beliau juga tidak pernah melarangnya, maka seharusnya mereka menyadari bahwa sikap mudah memvonis bid'ah terhadap amalan-amalan yang tidak jelas dalil larangannya dan bahkan membenci pelakunya, adalah juga sikap yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.!!!
Menurut para ulama, keumuman lafaz muhdatsat (perkara baru) dan bid'ah pada hadis-hadis itu sudah dikhususkan oleh hadis-hadis yang lain yang mengisyaratkan bahwa tidak setiap perkara baru itu bisa dikategorikan sebagai bid'ahkesesatan, dan mereka menyebut dalil tentang bid'ah itu sebagai dalil 'aam makhshuush (dalil umum yang dikhususkan). Dalil yang mengkhususkannya di antaranya adalah pernyataan sayidina Umar bin Khattab Ra. tentang shalat tarawih berjama'ah yang beliau adakan, dengan ungkapan "Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini". Dari sini  dan juga dari dalil-dalil lain yang mengisyaratkannya maka diketahui dengan pasti prinsip-prinsip dasar atau batasan yang menyebabkan suatu perkara baru dianggap sesat atau tidak (lihat  Tahdziibul-Asmaa' wal-Lughaat, Syarh an-Nawawi 'ala Shahih Muslim, Syarh az-Zarqani, Syarh Sunan Ibnu Majah, ad-Diibaaj lis-Suyuthi, Faidl al-Qadir lil-Minawi, Syarh as-Suyuthi, dan Subul as-Salam lish-Shan'ani). Prinsip dasar dan batasan itulah yang dapat diberlakukan untuk menetapkan hukum sesat atau tidak sesat terhadap perkara-perkara baru di setiap masa sampai hari kiamat.
Baiknya kita sebut di antara dalil-dalil yang mengandung isyarat adanya pengkhususan terhadap hadis tentang bid'ah, di antaranya:
1.         Ketika Nabi Saw. mengimami shalat, pada saat bangkit dari ruku’, di belakang beliau ada Sahabat yang membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ (segala puji bagi-Mu ya Allah, pujian yang banyak, yang bagus, lagi diberkati di dalamnya) dan bacaan ini tidak pernah diajarkan Nabi Saw. kepadanya. Setelah usai shalat, Nabi Saw. bertanya kepada para ma’mum, “Siapa yang membaca demikian itu tadi?” Seorang Sahabat mengaku, “Saya.” Nabi Saw. berkata, “(ketika engkau baca itu) aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba ingin mencatatnya lebih cepat.” (HR. Bukhari)
2.         Seorang laki-laki dari golongan Anshar suatu saat mengimami shalat. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, ia membaca surat Qul Huwallaahu ahad (al-Ikhlash), setelah itu ia tambah lagi membaca surat yang lain, dan itu ia lakukan di setiap raka’at. Ketika selesai, para Sahabat menegurnya, “Apakah engkau tidak merasa cukup? Bacalah al-Ikhlash saja dan tinggalkan yang lain, atau bacalah yang lain dan tinggalkan al-Ikhlash.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kalian suka, aku akan imami kalian, kalau tidak kalian boleh tinggalkan.” Ketika ia dihadapkan kepada Rasulullah Saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak mau melakukan saran mereka untuk mencukupkan pada al-Ikhlash saja atau pada yang lainnya saja?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintainya (surat al-Ikhlash).” Maka Nabi Saw. bersabda,”Cintamu kepadanya (al-Ikhlash) akan memasukkan kamu ke dalam Surga.” (HR. Bukhari)
3.         Ketika melihat “kekacauan” para Sahabat dalam melakukan shalat tarawih di masjid, karena mereka shalat berpencar-pencar dengan bacaan masing-masing, maka Umar bin Khattab Ra. berinisiatif untuk mengumpulkan mereka di dalam satu jama’ah (tarawih berjama’ah) dengan satu imam. Setelah dilakukan, tarawih berjama’ah itu ternyata indah dan rapi, sehingga terucap dari lidah Umar bin Khattab Ra.,” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik  bid’ah adalah ini).” (HR. Malik).
4.         Setelah Rasulullah Saw. wafat, dipilihlah Shahabat setia beliau yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagai pemimpin kaum muslimin atau pemimpin orang-orang beriman (amiirul-mu'miniin). Di awal masa kekhalifahan beliau inilah terjadi perang Yamamah, yaitu perang terhadap orang-orang murtad dan orang yang mengaku menjadi nabi, alias nabi palsu yang bernama Musailamah al-Kadzdzaab. Pada peperangan tersebut, dikatakan telah wafat sekitar 700 orang shahabat bahkan mungkin lebih, di mana di antara mereka terdapat para penghafal al-Qur'an.
Maka Umar bin Khattab Ra. datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menyampaikan usul agar beliau sebagai khalifah dapat melakukan upaya pengumpulan al-Qur'an secara tertulis dalam satu mushaf karena khawatir akan hilangnya sebagian banyak daripada al-Qur'an bersama wafatnya para shahabat di medan perang. Mendengar usul ini, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menolak dengan alasan, "Bagaimana kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?"
Mendengar tanggapan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. itu, Umar bin Khattab Ra. menegaskan, "Demi Allah, (mengumpulkan al-Qur'an) ini adalah baik!" Dan Umar bin Khattab Ra. terus menerus meyakinkan Abu Bakar Ra. sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima usul tersebut. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit Ra. dan menyampaikan rencana mereka kepadanya. Zaid menjawab, "Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Keduanya menjawab, "Demi Allah, ini adalah baik!" Keduanya terus meyakinkan Zaid sehingga Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar (HR. Bukhari).Lalu dilaksanakanlah pengumpulan al-Qur'an itu oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit Ra. berdasarkan penunjukkan dari khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
Hasilnya, mushaf al-Qur'an yang dikumpulkan berdasarkan usul Umar bin Khattab Ra. dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu kemudian disalin ulang dan dikembangkan serta disebarluaskan, hingga kini dapat kita jumpai dan kita baca dengan mudah. Bayangkan, tanpa bid'ah yang satu ini, barangkali kita tidak akan mengenal al-Qur'an dan tidak dapat membacanya!          
Dan banyak lagi contoh-contoh riwayat yang lain yang menjelaskan adanya bid’ah yang dilakukan di masa Rasulullah Saw. atau di masa para Shahabat beliau yang tidak dianggap sebagai suatu kesesatan, bahkan dijelaskan keutamaannya. Itu berarti, keumuman hadis tentang larangan bid’ah dikhususkan/dikecualikan oleh kasus-kasus seperti riwayat-riwayat shahih yang tersebut di atas. Kasus-kasus seperti itu kemudian dipelajari dan diambil benang merahnya, kemudian benang merah itulah yang menjadi dasar membolehkan perkara baru (bid'ah) yang baik (hasanah).
Bid'ah hasanah adalah sesuatu yang baru (yang bentuk/formatnya tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw.) yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya tetapi tidak bertentangan dengan prinsip agama Islam dan mengandung kebaikan atau maslahat. Dan yang menyetujui adanya pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu sayyi'ah/madzmumah (buruk/tercela) dan hasanah/mahmudah (baik/terpuji), adalah mayoritas ulama yang diakui keilmuannya, mereka adalah: Imam Syafi'I, Ibnu Abdil-Barr, Ibnu al-'Arabi, Ibnu al-Atsir, 'Izzuddin bin Abdussalam, Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar al-'Asqallani, Badruddin Mahmud al-'Aini, ash-Shan'ani, asy-Syaukani, dan lain-lainnya. 
Yang dimaksud para ulama dengan prinsip dasar atau batasan dalam urusan bid'ah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi'I yaitu, "Bid'ah itu ada dua: Terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Apa yang sesuai/sejalan dengan sunnah adalah terpuji, dan apa yang bertentangan dengan sunnah adalah tercela" (lihat Fathul-Bari, Ibnu Hajar al-Asqallani, Daarul Ma'rifah, juz 13, hal 253).
Apa yang dilakukan oleh para ulama dalam rangka memahami dalil bid'ah tersebut sangatlah proporsional, di mana dalil "yang umum" pengertiannya "dikhususkan" oleh adanya dalil-dalil lain. Dan ketika ternyata dalil-dalil itu memang tidak menyebutkan perincian jenis perkara-perkara baru berbau agama, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi di masa datang, maka mereka pun tidak merincikannya, melainkan hanya menetapkan prinsip dasar dan batasannya yang sangat berguna untuk dapat menggolongkan apakah suatu perkara baru di masa depan termasuk yang dilarang (tercela/sesat) atau dibolehkan (terpuji/hasanah).
Sementara yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah keteledoran, di mana "dalil umum" tentang bid'ah mereka gunakan untuk menghukumi perkara-perkara khusus, bahkan segala perkara baru berbau agama tanpa terkecuali, padahal dalil-dalil itu tidak menyebutkan rinciannya. Ini terjadi akibat mereka tidak menggunakan metodologi para ulama dalam memahami dalil umum, khususnya tentang muhdatsat dan bid'ah, karena mereka hanya mengandalkan makna lahir (harfiyah) dari dalil tersebut sehingga mereka tidak peduli terhadap dalil-dalil lain yang jelas-jelas mengisyaratkan adanya pengkhususan atau pengecualian.
Singkatnya, tentang hadis muhdatsat dan bid'ah tersebut, para ulama memberlakukan takhsish (pengkhususan) yaitu metode pembahasan dalil umum yang sudah disepakati oleh seluruh ulama ushul. Sedangkan Kaum Salafi & Wahabi memberlakukan tafshil (perincian) dengan menyebutkan jenis atau macam-macam amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah, dan metode ini tidak pernah digunakan oleh para ulama ushul dalam membahas sebuah dalil umum. 
Maka saat mereka mengatakan, "Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjama'ah, dan lain sebagainya adalah bid'ah sesat yang dilarang oleh Rasulullah Saw.", berarti mereka benar-benar telah melakukan penipuan terhadap umat dan telah berbohong atas nama Rasulullah Saw. Mengapa demikian??! Karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkan hal itu.
Dalam rangka menambah kesan sangat buruk pada tertuduh pelaku bid'ah, mereka juga mengajukan dalil-dalil lain tentang ancaman bagi pelaku bid'ah seperti hadis-hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ   (رواه ابن ماجه)
"Allah enggan menerima amal pelaku bid'ah sampai ia meninggalkan bid'ahnya"
(HR. Ibnu Majah dengan sanad yang dha'if, karena terdapat 2 perawi yang majhul atau tidak diketahui).
لاَ يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ صَدَقَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً يَخْرُجُ مِنْ اْلإِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ (رواه ابن ماجه)
"Allah tidak menerima dari pelaku bid'ah amal puasanya, shalatnya, shadaqahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, taubatnya, dan fidyahnya. Ia keluar dari Islam seperti keluarnya rambut dari dalam tepung" (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang dha'if, karena terdapat perawi yang dianggap pendusta bahkan dikenal sebagai pemalsu hadis)
 Kedua hadis ancaman terhadap pelaku bid'ah di atas, sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah karena tingkat kelemahan (dha'if) yang cukup berat. Namun begitu, seandainya pun mau diberlakukan juga maknanya, tentu kita dapat melihat jelas bahwa kata bid'ah yang dikandungnya juga bersifat umum seperti dalil-dalil sebelumnya, sehingga tidak bisa dituduhkan kepada setiap perkara baru berbau agama seperti maulid atau tahlilan kecuali bila ada dalil yang menyebutkannya.
Demikian pula dengan dalil-dalil dari para shahabat atau para ulama salaf yang mereka lansir sebagai sikap kebencian para ulama tersebut terhadap bid'ah dan para pelakunya, pun bersifat umum. Mari kita lihat seperti yang tersebut di dalam mukaddimah buku Bid'ah-bid'ah yang Dianggap Sunnah, sebagai berikut:
Kata Ibnu Mas'ud, "Ikutilah dan janganlah melakukan bid'ah karena agama sudah dicukupkan untuk kalian."
Kata Ibnu Abbas, "Hendaknya engkau senantiasa bertakwa kepada Allah dan beristiqamah, ikutilah dan jangan melakukan bid'ah."
Menurut Ibnu Umar, " Setiap bid'ah adalah kesesatan meskipun orang lain menganggapnya bagus."
Kata Umar bin Abdul Aziz, "Aku nasihatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dengan istiqamah, mengikuti sunnah Rasul-Nya dan meninggalkan bid'ah yang dilakukan oleh ahli bid'ah sesudahnya."
Abu Hanifah berkata, "Hendaknya kalian berpegang teguh dengan atsar, mengikuti langkah salaf, dan menghindarkan dirimu dari hal-hal yang baru, karena itu merupakan perbuatan bid'ah."
Imam Malik berkata, "Barangsiapa melakukan bid'ah dalam Islam dan menganggapnya baik, berarti dia telah meyakini bahwa Muhammad Saw. telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman, 'Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian (al-Maidah:3). Apa saja yang saat itu tidak dikategorikan sebagai agama, maka sekarang pun tidak menjadi bagian darinya."
Ahmad bin Hanbal berkata, "Bagi kami, dasar-dasar sunnah adalah berpegang teguh kepada apa yang dilakukan oleh para shahabat Rasulullah, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah kesesatan."
Dan banyak lagi dalil-dalil dari para shahabat dan para ulama salaf yang mereka kemukakan, dan itu semua bersifat umum, tidak merincikan jenis-jenis bid'ah yang dimaksud. Berarti, saat mereka menyebut bid'ah dengan nada ungkapan kebencian seperti di atas, maksudnya adalah bid'ah yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. alias bid'ah sayyi'ah/madzmumah atau dhalalah sebagaimana telah diuraikan sebelum ini, bukan seluruh bid'ah tanpa terkecuali. Pengertian tersebut juga dapat diambil dari hadis Rasulullah Saw.:
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِيْ قَدْ أُمِيْتَتْ بَعْدِيْ فَإِنَّ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي)
"Sesungguhnya barang siapa yang menghidupkan suatu sunnah dari sunnahku yang telah dimatikan (ditinggalkan) setelah aku (wafat), maka sesungguhnya bagi dia daripada pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengada-adakan (melakukan) bid'ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah atasnya (baginya) seperti dosa-dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dari dosa-dosa manusia (yang melakukannya) sedikitpun" (HR. Tirmidzi).
Hadis ini juga secara tidak langsung mengindikasikan bahwa bid'ah dhalalah (bid'ah kesesatan) itu adalah bukan sunnah Rasulullah Saw. atau tidak sejalan dengan sunnah beliau. Di samping itu, penyebutan kata bid'ah dhalalah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya juga mengindikasikan makna tersirat bahwa di sana ada bid'ah hasanah (bid'ah kebaikan) yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang dalam bahasa lain adalah sunnah hasanah, yaitu yang termasuk dalam sunnah Rasulullah Saw. atau yang sejalan dengan sunnah beliau. Ini adalah penjelasan yang sejalan dengan pendapat mayoritas ulama yang setuju dengan adanya takhsish pada hadis bid'ah.      
Kaum Salafi & Wahabi juga telah mencari-cari alasan untuk menolak zhahirnya ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. ketika beliau mengatakan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini!" Mereka berkata, bahwa sesungguhnya shalat tarawih berjama'ah yang dilakukan Umar bin Khattab Ra. itu bukanlah bid'ah karena pernah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. selama tiga malam, jadi hal itu sebenarnya adalah sunnah, bukan bid'ah. Berarti, kata mereka, Umar bin Khattab Ra. tidak melakukan perkara baru, tetapi menghidupkan sunnah Rasulullah Saw. yang pernah dilakukan lalu ditinggalkan.
Pada ungkapan mereka ini jelas sekali ada alasan yang dipaksakan. Pertama, sayidina Umar jelas-jelas menyebutnya sebagai bid'ah, mereka malah menta'wilnya sebagai sunnah. Biasanya mereka paling anti terhadap ta'wil, sebab kebiasaan mereka adalah memahami dalil secara harfiyah apa adanya. Pada kasus ini, mereka melanggar prinsip mereka sendiri dengan melakukan ta'wil, tentunya karena ada kepentingan membela keyakinan mereka yang keliru. Kedua, bila cuma sunnah Rasulullah Saw. yang dihidupkan kembali, kenapa sayidina Umar bin Khattab Ra. menggagas shalat tarawih berjama'ah itu di awal malam (ba'da Isya) bukan tengah malam, dan bukan cuma tiga malam seperti yang pernah dilakukan Rasulullah Saw., tetapi sebulan Ramadhan penuh, serta dengan jumlah 20 raka'at yang mana tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Apakah benar-benar tidak ada perkara baru dalam hal itu?!!
Tidak berhenti sampai di sini, kaum Salafi & Wahabi kemudian juga mengatakan, bahwa orang yang mengatakan ada bid'ah hasanah dengan dalil ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" berarti telah membenturkan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi "Setiap bid'ah adalah kesesatan" dengan perkataan Umar bin Khattab Ra. Bagaimana mungkin hal itu dapat dibenarkan –kata mereka--, sedangkan Umar bin Khattab Ra. hanyalah seorang shahabat yang tidak boleh lebih diunggulkan dari pada Rasulullah Saw. Bahkan mereka mengajukan dalil dari ungkapan Ibnu Abbas Ra., "Hampir saja kalian dilempar dengan batu dari atas langit. Sebab aku katakan, 'Rasulullah Saw. bersabda', tetapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar."(lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 27).
Alasan ini pun tidak bisa diterima. Pertama, di samping pernyataan Ibnu Abbas tersebut perlu diteliti lagi keabsahannya karena tidak jelas sumbernya, penempatannya pada kasus ini pun sangat tidak berhubungan, terkesan dipaksakan. Kedua, para ulama yang mendasari adanya bid'ah hasanah dengan dalil dari ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. itu, bukan berarti mengkonfrontir atau membenturkan sabda Rasulullah Saw. dengan perkataan Umar bin Khattab Ra., tetapi mereka justeru sedang menjelaskan pemahaman bid'ah yang disebutkan Rasulullah Saw. itu dengan isyarat yang ada di dalam perkataan sayidina Umar. Sebab, mustahil sayidina Umar tidak pernah mendengar sabda Rasulullah Saw. "setiap bid'ah adalah kesesatan", dan mustahil pula sayidina Umar tidak mengerti maksud hadis itu sehingga ia berani meledeknya dengan ucapan "sebaik-baik bid'ah adalah ini". Justeru keberanian sayidina Umar bin Khattab Ra. mengucapkan ungkapan tersebut adalah karena beliau paham betul maksud dari hadis Rasulullah Saw. tentang bid'ah itu, lagi pula tidak seorang pun dari shahabat Rasulullah Saw. yang lain yang membantahnya ketika ia mengucapkannya. Ini menunjukkan bahwa sayidina Umar bin Khattab Ra. dan para shahabat yang lainnya sangat mengerti, bahwa hadis "setiap bid'ah adalah kesesatan" maksudnya adalah yang bertentangan dengan prinsip al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw., bukan sembarang perkara baru.
Analoginya, jika di suatu kampung ada seseorang bernama "Udin" yang dikenal sangat buruk perangainya, maka saat seseorang berkata kepada anaknya, "Jangan kau bergaul sama Udin" atau "Aku tidak sudi berhubungan dengan Udin", tentu itu artinya bukan sembarang Udin karena di kampung itu banyak orang yang memiliki nama panggilan "Udin". Saat nama "Udin" diucapkan dengan nada atau ungkapan kebencian, maka maksudnya adalah "Udin yang terkenal keburukan perangainya." Seperti itulah pengertian yang dapat kita ambil dari ungkapan-ungkapan Rasulullah Saw., para shahabat, dan para ulama salaf ketika mereka menyebut kata bid'ah.
Saat Rasulullah Saw. menyatakan, "Setiap bid'ah adalah kesesatan", maka maksudnya sudah jelas, yaitu perkara-perkara baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebaikan yang disebutkan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Analoginya, ada orang berkata tentang si "Udin" yang terkenal keburukannya itu, "Setiap perbuatan Udin adalah keburukan", tentu maksudnya adalah perbuatannya yang bertentangan dengan norma agama atau norma masyarakat, bukan semua perbuatannya. Bagaimana mungkin perbuatan si "Udin" seperti: Makan saat ia lapar, tidur saat ia mengantuk, diam saat ia tidak melakukan apa-apa, juga dianggap sebagai keburukan??! Sungguh keji orang yang memukul rata seluruh perbuatan itu sebagai keburukan, sebagaimana kejinya orang yang memukul rata seluruh perkara baru berbau agama seperti maulid, tahlilan, zikir berjama'ah, do'a berjama'ah, ziarah kubur,  dan lain sebagainya sebagai kesesatan!      
Sungguh, orang yang tidak bisa melihat kebaikan, manfaat, dan maslahat yang ada di dalam acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang lainnya yang dikategorikan oleh para ulama sebagai bid'ah hasanah (perkara baru yang baik) dengan alasan Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, adalah orang yang belum dilapangkan dadanya untuk leluasa melihat kebaikan di dalam agama, padahal para ulama sudah banyak menulis kitab-kitab yang menjelaskan dalil-dalil dan keutamaan-keutamaannya.
Bila Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. bisa menerima usul Sayidina Umar bin Khattab Ra. dalam hal "penulisan dan pengumpulan al-Qur'an dalam satu mushaf" hanya dengan alasan "Demi Allah, ini adalah baik" hal mana ia tahu Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, dan Abu Bakar Ra. menyatakan bahwa penerimaannya terhadap usul itu adalah sebagai wujud "Allah melapangkan dadaku untuk menerima usul itu", maka betapa masih sempitnya dada kaum Salafi & Wahabi yang tidak bisa menerima adanya kategori bid'ah hasanah/mahmudah dan kebaikan-kebaikannya bagi umat di masa belakangan padahal mayoritas ulama sudah membahasnya di dalam kitab-kitab mereka lebih dari sekedar ungkapan "Demi Allah, ini adalah baik". Harusnya mereka menangis sambil berusaha mencari tahu, "Mengapa, dengan puluhan jilid kitab para ulama, Allah belum melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Abu Bakar Shiddiq Ra. hanya dengan satu kalimat 'Demi Allah, ini adalah baik'?" Jawabnya adalah, karena di hati mereka masih ada kesombongan; merasa lebih utama dan benar sendiri, dan menganggap selain mereka salah dan tidak sesuai sunnah.