Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi
|
Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi
terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil
khusus, baik dari hadis-hadis Rasulullah Saw., ucapan para shahabat beliau, atau
ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara
harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara
gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.
Contohnya, hadis-hadis Rasulullah Saw. yang menyebutkan
larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung beliau seperti
yang dilakukan kaum nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan
beliau dengan sebutan sayyidina, larangan beristighatsah dengan
Rasulullah Saw., larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid. Semua
permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan
batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara
tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi,
semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang
ada di dalam hadis, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan
mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada
dalil yang membatalkannya.
Syaikh Ali Jum'ah (Mufti Mesir) adalah salah
satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan
dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas,
lihatlah karya beliau yang berjudul al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba'dhi
al-Mafahim, atau dalam edisi terjemah berjudul Kupas Tuntas
Ibadah-ibadah Diperselisihkan!, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat
beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk
memvonis bid'ah atau sesat suatu amalan dengan serampangan, semata-mata karena
melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada
makna haram.
1. DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA'AH
Salah satu dalil khusus yang paling jelas menyebutkan larangan
berzikir berjamaah atau menghitung bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih,
adalah perkataan Abdullah bin Mas'ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi. Dalil
ini tampaknya sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk mengharamkan
kegiatan tahlilan dan zikir berjama'ah serta melabelkan padanya tuduhan bid'ah.
Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di
dalam buku Ensiklopedia Bid'ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut:
Dari 'Amr bin Yahya, dia berkata, "Aku mendengar ayahku
menceritakan dari bapaknya, dia berkata, 'Kami pernah duduk-duduk di pintu
(rumah) Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar
dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa
al-Asy'ari Ra. Dan berkata, 'Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas'ud) telah
keluar pada kalian?' Kami menjawab, 'Belum.' Lalu dia pun duduk bersama kami
sampai akhirnya Abdullah bin Mas'ud keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri
menemuinya dan Abu Musa al-Asy'ari berkata, 'Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku
melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan
alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan.
Dia bertanya, 'Apa itu?' Abu Musa menjawab, ' Bila kau masih hidup niscaya kau
akan melihatnya sendiri.' Abu Musa lalu berkata, 'Aku melihat di masjid beberapa
kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu)
shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan
mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, 'Bacalah takbir 100 kali,'
mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, 'Bacalah tahlil 100
kali', mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, 'Bacalah tasbih
100 kali', mereka pun bertasbih 100 kali.
Abdullah bin Mas'ud bertanya, 'Apa yang kamu katakan pada
mereka?' Abu Musa menjawab, 'Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka,
karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!' Abdullah bin Mas'ud
menjawab, 'Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung
kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada
sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?' Kemudian dia
pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari
kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu
berkata, 'Apa yang kalian sedang kerjakan?' Mereka menjawab, 'Wahai Abu
Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung
takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Hitunglah
kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari
kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat
Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi Saw.,
masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum
pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini
ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang
membuka pintu kesesatan.'
Mereka menjawab, 'Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak
menginginkan kecuali kebaikan.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Berapa banyak
orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya
Rasulullah Saw. Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca
al-Qur'an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak
tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.' Kemudian dia
pergi. Amr bin Salamah berkata, 'Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita
pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij." (Hadis ini diriwayatkan
oleh ad-Darimi).
Riwayat tersebut sepertinya dianggap mewakili dalil khusus yang jelas-jelas melarang zikir berjama'ah, atau melarang menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih. Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan tersebut atau untuk memvonis bid'ah amalan berzikir berjama'ah atau menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:1. Bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw., "Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red)." (Hadis Shahih riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain). Abdullah bin Mas'ud Ra. Tidak mungkin tidak mengetahui hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini.2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw. juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti: Bacaan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, yang masing-masing dibaca 33 kali, atau tentang keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa 'ala kulli syai'in Qadiir sebanyak 100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari 100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah bacaan zikir.3. Rasulullah Saw. tidak pernah melarang shahabat untuk menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti Abu Darda' Ra. dan Abu Hurairah Ra. memiliki sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk berzikir (lihat az-Zuhd, Abu 'Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya', juz 1 hal. 383, dan lain-lain).4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas'ud Ra. di atas memiliki kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat 'Amr bin Yahya bin 'Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh Yahya bin Ma'in dan Ibnu 'Adi.5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan/sabda Rasulullah Saw., melainkan perkataan pribadi Abdullah bin Mas'ud Ra. (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat). Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi tidak termasuk hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan hukum kecuali bila sejalan dengan hadis Rasulullah Saw., karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy'ari pertama kali pada riwayat di atas saat ia berkata, "alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan" . Bagaimana mungkin Abdullah bin Mas'ud tidak dapat melihat kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy'ari tentang halaqah zikir di masjid itu, sementara pada riwayat lain Abdullah bin Mas'ud pernah berkata: "… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka dia adalah baik menurut Allah" (Riwayat Ahmad).Sungguh ini merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak bertentangan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw., maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan dalil melarang zikir berjama'ah atau menghitung jumlah zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan.6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas'ud Ra. sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan zikir berjamaahnya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu umat Islam. Buktinya, Abdullah bin Mas'ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan peringatan Rasulullah Saw. tentang akan munculnya " sekelompok orang yang membaca al-Qur'an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja " , yang disinyalir oleh para ulama sebagai kelompok khawarij. Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama 'Amr bin Salamah, 'Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij."
2. DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH
SAW.
Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering
digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas
(perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu
Taimiyah di dalam kitab Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal.
111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah
berkata:
بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي."… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, 'Aku menziarahi kubur Nabi Saw.' sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw. yang di dalamnya terdapat lafaz 'menziarahi kuburnya', niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku ."
Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu
Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik
adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan
naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw.
dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, "Aku malu kepada Allah
ta'ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki
hewan (kendaraan-red)" (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin
Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).
Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad
Rasulullah Saw. seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci
kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw.? Sungguh ini adalah
sebuah pemahaman yang keliru.
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab
Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci
ucapan "aku menziarahi kubur Nabi saw." adalah karena semata-mata dari
sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan
oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur
Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari'atannya
jelas, dan hal itu merupkan ijma' para ulama.
Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa
Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu
dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup,
maka ia pun lebih suka ungkapan "aku menziarahi Rasulullah Saw." dari
pada ungkapan "aku menziarahi kubur Rasulullah Saw."
berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw. di dalam kuburnya
dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan
mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka
Rasulullah Saw. yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada
umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.
Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu
kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan
(syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid
Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka
makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan
(termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan
tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam
perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut.
Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut
terdapat 'illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup
keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata "masjid". Sehingga dengan
begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk
melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama
tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada
keistimewaannya.
3. DALIL LARANGAN MENYANJUNG
RASULULLAH SAW.
Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh kaum
Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan
untuk memuji atau menyanjung Rasulullah Saw., dan ini dijadikan dasar untuk
menganggap bid'ah atau sesat sya'ir-sya'ir qashidah yang sering dibaca umat
Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw.
tentang hal itu bunyinya begini:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)"Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah 'hamba Allah dan Rasul-Nya" (HR. Bukhari)
Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah memahami hadis
ini sebagai larangan mutlak memuji-muji atau menyanjung Rasulullah Saw. secara
berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus
sebagai Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai
upaya "pengkultusan" yang dapat dikategorikan sebagai syirik. Padahal, memuji
atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan "mengkultuskan".
Habib Muhammad bin 'Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau,
Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan
yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan
kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang
secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah
Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka
beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang
jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw.
kemudian menyuruh umatnya untuk selalu "menyadari" bahwa beliau hanyalah seorang
hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.
Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah
"mengkultuskan" Rasulullah Saw. dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau
melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau
memuji beliau, menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat
banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu
terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia
biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga
patut diikuti.
Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa
Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk memuji atau
menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu' (rendah
hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan
jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk
Islam. Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau
menyanjung Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau,
dan memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap
"memuliakan" itu sangat berbeda dari sikap "mengkultuskan", dan dalam rangka
memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup
untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat
beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri
beliau.
Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan sikap
pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al-Qur'an,
sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung."
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah
juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw. itu sebagai ciri orang yang
beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana
firman-Nya:
"… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raaf: 157).
Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap
sya'ir-sya'ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang
shaleh sebagai bid'ah sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan
syirik, karena dianggap "berlebihan" dalam memuji, maka hendaknya mereka
menjelaskan "batasan Pas'nya" dan "batasan lebihnya" dengan dalil yang
jelas, sambil bertanya, "kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan
Rasulullah Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau
Nasrani kah?"
Bila Rasulullah Saw. sudah dianggap tidak lebih dari manusia
biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di sana ada
pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai seseorang bernama
"Muhammad" yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, yang bukan saja ditakdirkan
tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah jauh-jauh masa sebelum alam semesta
diciptakan. Beliau bahkan sudah menjadi manusia mulia dan terpuji yang
diistimewakan oleh Allah sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Bagaimana
mungkin kita mengingkari awan yang menaungi beliau saat berjalan; atau
melimpahnya keberkahan ternak dan susu Halimatus-Sa'diyah saat mengambil beliau
sebagai anak susunya; atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang
diakui orang di seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi
Persia di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan
tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh Allah
sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan dan keagungan
pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai seorang Rasul semata. Belum
lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau sejak diangkat
menjadi Nabi dan Rasul, sungguh tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang
menyebut-nyebut keistimewaan beliau itu dalam sya'ir-sya'ir pujian?
Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw. seperti kehabisan
kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat
pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara' bin 'Azib Ra. berkata, "Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau" (HR. Bukhari).Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, "… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau" (HR. Tirmidzi).Anas bin Malik Ra. berkata, "Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw." (HR. Ahmad).'Aisyah Ra. ummul-Mu'miniin berkata, "Adalah akhlak beliau itu al-Qur'an" (HR. Ahmad).
Delegasi Bani 'Amir berkata kepada Rasulullah Saw., "Engkau
adalah tuan kami." Rasulullah Saw. menjawab, "Tuan itu adalah Allah
tabaraka wata'ala." Delegasi itu malah terus berkata lagi, "Dan engkau
adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami."
Rasulullah Saw. berkata, "Katakanlah dengan perkataan kalian atau
sebagian perkataan kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai
wakilnya (untuk menyesatkan dengan kata-kata)" (HR. Abu Dawud). Hadis ini
menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau,
tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan
syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang untuk
mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk Islam dan baru
saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama pujian atau sanjungan itu
tidak melampaui batas tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak
senang dipuji atau disanjung karena sifat tawadhu' (rendah hati), bukan
karena haram melakukannya.
Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat
terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang
mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau
menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan keyakinan
di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada
beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan
beliau.
Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya'ir yang
secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw. sebagai: Pemberi petunjuk ke
jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), pembuka yang tertutup
(al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya
yang berada di atas cahaya (nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi
pertolongan, dan lain sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap
"menuhankan" (mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan
seperti Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang
menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah menganggapnya
demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di mana
hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang bertauhid dan
beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, pertolongan, keberkahan,
cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt., sedang Rasulullah Saw. hanya
merupakan "sebab" tercapainya hal-hal tersebut melalui dakwah, teladan,
syafa'at, dan do'a-do'a beliau.
Para ulama yang menulis sya'ir-sya'ir pujian itu pasti sangat
mengerti batasan tentang "porsi" Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan
"porsi" makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau
perbuatan, dan tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau
sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam
tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan
Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah
Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.
Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa menisbatkan
suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya adalah sah menurut
al-Qur'an dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz 'aqli (kiasan
logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal" (QS. Al-Anfaal: 2)."Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban" (QS. Al-Muzzammil: 17).
Pada ayat pertama diatas, Allah menyebutkan seolah
"ayat-ayatNya" dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan
pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah "hari" lah yang merubah
keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat
dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang
menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah.
Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik
Allah ketika dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., maka maksudnya adalah
majaz aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah "sebab"
tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah
bagaimana Allah sendiri menyebutkan:
"… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (QS. Asy-Syuuraa: 52).
Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid
(tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya
dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam
kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan
Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah
melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)" Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa'at, serta orang pertama yang diberi syafa'at" (HR. Muslim)
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan
seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi
lain sangat "menghindarkan diri" dari memuliakan dan menyanjung pribadi beliau
karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas batasannya, adalah dua
sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang. Mengapa? Karena semangat
atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan
kekaguman itu berawal dari mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut
yang dapat diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau
pemuliaan dari orang yang mengenalnya.
Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang tergerak untuk
mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah banyak riwayat hadis
menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah dan memilih beriman serta
mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman mereka terhadap beliau dalam hal:
Kejujurannya, akhlak dan budi pekertinya, kelembutan tutur katanya,
kebijaksanaannya, dan kedahsyatan mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau
diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau
keistimewaan yang mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan
para rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita
kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit untuk
mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.
Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa
bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal
"bekal" kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau
adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul?
Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek yang lebih hebat
dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan
pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau?
Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah
Saw. dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat
dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah
beliau? Anda ingin tahu jawabannya?
Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah rahmat
Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. selain dari
kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah beliau. Sehingga
diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca syair pujian dan sanjungan
terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya untuk mengikuti sunnah beliau,
diharapkan mereka mendapat rahmat dengan cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian
mereka akan dipermudah oleh Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah
Saw., lalu kekaguman terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya.
Berarti, setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan
menyanjung Rasulullah Saw., bahkan dengan hanya menyebut nama beliau saja,
seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan Sufyan bin
'Uyainah berkata:
عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)"Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat" (Lihat Hilyatul-Awliya', al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja'far bin Hamdan, "Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?" Abu Ja'far menjawab, "Benar". Abu Utsman berkata, " Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh" (Siyar A'laam an-Nubala', adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)
Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi yang
terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah Saw., maka
sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh kekaguman yang sangat besar.
Tetapi kekaguman yang sangat besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah
Saw., karena mereka menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi
wahyu dan diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan
antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:
1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al-Qur'an dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.
2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.
Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu
berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah
Saw., sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang disebutkan sunnah
tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala. Sedangkan para ulama pelaku
Maulid seringkali berbicara tentang rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga
dari pahala ibadah; mengarahkan umat untuk kagum kepada "rahmat bagi sekalian
alam" (yaitu Rasulullah Saw.) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada
beliau; serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar
semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.
Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak
diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja
yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya.
Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip kesombongan dan
kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang
lebih utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw. telah bersabda:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ الله ِ (روا مسلم)"Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah" (HR. Muslim).
Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga dari pahala
atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk mendapat rahmat
Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah Saw., atau melalui
acara peringatan Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas
lebih pantas dianggap kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat
Allah dengan melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan,
bid'ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra.
berikut ini:
أن رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب الإيمان ج. 2، ص. 21)Sesungguhnya ada seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta'ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), "Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?" Allah menjawab, "Neraka!" Orang itupun berkata, "Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?" Allah menjawab, "Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!" (lihat al-Jami', Ma'mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu'abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21)
Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah
mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi &
Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah
Saw. sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat beliau,
lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti "ikut-ikutan" dalam hal
itu sehingga tega melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan
membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari bahwa fatwa
mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha
"membunuh karakter" Rasulullah Saw. dari hati para pengikutnya??!
4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN
Di antara dalil khusus yang paling sering dikemukakan adalah
tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan
sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan
kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul),
dan seterusnya.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanantermasuk daripada meratap" (HR. Ibnu Majah).عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggapberkumpul di keluarga mayit dan membuat makanansetelah penguburannyatermasuk daripada meratap" (HR. Ahmad).
Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut
"niyahah" adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun
begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau
menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw.
saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya
berkata, "Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati
para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani
(ruhama'/punya sifat rahmat)" (HR. Bukhari). Rasulullah Saw. juga menangis
saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga
menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga
orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam
hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib
asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah
adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung,
apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju,
memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala
dengan tanah, dan lain sebagainya.
Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan
dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana
kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa
shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap
(niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga
sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa
dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang
berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap
dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum
haramnya.
Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi
& Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan
(mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan
Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut.
Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya
meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan,
berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada 'illat (benang
merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan
bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada
persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam
riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram,
kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi
terlarang sama sekali. Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap
(niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul
di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua
hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status
hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan "oncom"
sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa
dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu
tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah
mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.
Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam
kitab I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi &
Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi'I atau ulama
lain saat mengatakan "akrahu" (saya membenci), "makruh"
(dibenci), "yukrahu" (dibenci), "bid'ah munkarah" (bid'ah
munkar), "bid'ah ghairu mustahabbah" (bid'ah yang tidak dianjurkan),
dan "bid'ah mustaqbahah" (bid'ah yang dianggap jelek), sepertinya semua
itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak.
Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum "makruh" untuk kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari
hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta'ziyah sampai hari ketiga
setelah kematian dan hukum mendo'akan atau bersedekah untuk mayit yang
kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.
Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di
dalam I'aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi
Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana
berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo'a lalu dihidangkan
makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti
itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif
(distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan
melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan
mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab
I'anatuth-Thalibiin.
Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku "Membongkar
Kesesatan Tahlilan" (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin,
Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku "Mantan Kiai NU Menggugat
Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali" (karya H. Mahrus Ali, Laa
Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
"Dan di antara bid'ah munkaroh yang sangat
dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari
ke-40-nya. semua itu haram hukumnya" (lihat buku
Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
"Di antara bid'ah munkarat yang tidak
disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam
majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat
jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu
adalah haram" (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan,
hal. 69).
Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas,
padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك ( إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)Jika diterjemahkan, maka bunyinya:"Dan di antara bid'ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya." (I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).
Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang
digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari
ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat
seenaknya demi tercapai tujuan "pengharaman" agar terkesan bahwa pendapat atau
vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat
kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan,
Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis
pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam
kalimat aslinya, seperti berikut ini:
"… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: 'Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram."
Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu
umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada
permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis "bodoh", "kufur", dan
"syirik" yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi
& Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim
kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan
sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.
Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan
anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah
keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi
"makruh") sebagaimana termaktub di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin juz
2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang
ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu
terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan.
Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang
ditanyakan seperti berikut ini:
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)(Sayid Bakri Syatha' ad-Dimyathi, penulis I'aanatuth-Thalibiin) berkata:Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah "apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta'ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta'ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta'ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: 'Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far', apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?" (lihat I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).
Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas,
maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta'ziyah itu dalam hal
mana"merekamenunggu makanan"
di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan
menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat
pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad
bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut
menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid'ah munkarah dan penguasa
yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan
ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum "haram" kecuali bila ada dalil
atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.
Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari
sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana
orang-orang datang berta'ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau
menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar
makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para
penta'ziyah yang datang.
Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit,
orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri,
melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu
merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan
mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang
semestinya lebih tahu tentang "keberatan" dan "beban" keluarga mayit sehingga
menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para
hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya
tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga
mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya
adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan,
sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikitpun hak untuk memaksa
mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar
terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan
senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia,
sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi
undangan itu. Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila
undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan
bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini,
melakukan amalan yang dianggap "makruh" dengan menghibur dan membuat hati
keluarga mayit senang, atau menghindari yang "makruh" tersebut dengan menyakiti
perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang
tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti
perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh
dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo'akan si mayit, bersedekah atas
nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman
kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh
dengan memenuhi undangan, mendo'akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani
(menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit
atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut
yang diharamkan di dalam agama??!
Jika alasan "berkumpulnya orang akan menambah
kesedihan" membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang
bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya?
Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru
menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah "kebaikan"
bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu
merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?
Sungguh, hukum "makruh" yang diletakkan para ulama untuk adat
atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat
adanya potensi "menambah kesedihan atau beban kerepotan" meskipun jika
seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti
melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak
hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas
diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo'akan mayit, bersedekah (pahalanya)
untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur
keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu
semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.
Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan
menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh
orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak
bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang.
Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada
dihukumi.
********
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi
memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid'ah meskipun sangat sedikit
jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut
entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah
saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan. Akibatnya,
"larangan" yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan
maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas
bahwa "larangan" tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh,
bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil
lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw. tentang larangan keras minum sambil
berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw. sendiri
saat beliau minum sambil berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar