Selasa, 27 Desember 2011

Mengusap Wajah Setelah Shalat

Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai mengucapkan salam dalam shalat, umat Islam mengusap wajah dengan kanannya. Hal ini didasarkan satu riwayat bahwa setelah bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.


عَنِ السَّائِبِ بْنِ يِزِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ -- سنن أبي داود

Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah SAW berdoa, beliau beliau selallu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR Abu Dawud, 1275)

Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebab shalat secara bahasa berarti berdoa. Di dalam shalat terkandung doa-doa kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah shalat ia juga disunnahkan untuk mengusap muka.

Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin menyatakan: Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, dan kami juga meriwayatkan hadits dalam kitab Ibnus Sunni dari Sahabat Anas bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa:


أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ

Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan." (I’anatut Thalibin, juz I, hal 184-185)

Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah shalat memang dianjurkan dalam Islam. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat.

Jumat, 23 Desember 2011

Dzikir Berjamaah dengan Suara Kera

s Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.


مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني

Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian.
(HR Ath-Thabrani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه

Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)

Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:

أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟

 “Apakah Doa yang paling dikabulkan?”

Rasulullah menjawab:

جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)

أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم

Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah.
(HR Bukhari-Muslim)

Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:

كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.

Selasa, 20 Desember 2011

Himbauan Ketua Umum PBNU Soal Gejala Konflik Internal Umat Islam
Sehubungan dengan gejala konflik internal umat Islam akhir-akhir ini, seperti di Sampang (Madura), Bangil dan dan Jember, saya serukan hal-hal sebagai berikut:
1. Teman-teman kelompok Syiah (yang sangat minoritas) hendaknya menghindari dan tidak mengucapkan di depan umum hal-hal yang dapat menyinggung perasaan masyarakat Sunni (yang merupakan kelompok mayoritas) di Indonesia, seperti menghujat Saidina Abu Bakar, Umar, Usman, Syekh Abdul Qodir Jaelani, Imam Buchori, Imam Muslim, Abu Huroiroh, Hadratus Syeh Hasyim As’ari dan seterusnya. Karena kaum Sunni di Indonesia juga sangat menghormati Saidina Ali (Karromallhu Wajhah) dan seluruh ahlul bait. Mengapa Syiah mesti menyerang Sunni. Kalau serangan itu dilakukan tidak mungkin da...pat dihindari reaksi-reaksi.
2. Untuk warga Ahlussunnah Waljamaah hendaknya menginitensifkan dakwah di kalangan masyarakat (utamanya NU) melalui pendidikan formal, majlis taklim, masjid-masjid, surau-surau serta kegiatan formal NU dengan pendidikan ilmiyah historis serta perpecahan agama, dengan cara bijak atau argumentative (bil hikmah), bimbingan dan penyuluhan (mauidhoh hasanah) serta mengisi generasi muda yang mayoritas masih kosong dengan terus menghindari cara-cara kekerasan karena sebuah faham tidak bisa dihadapi dengan kekerasan.
3. Waspadai siasat/taktik dari kekuatan terselubung, baik Nasional maupun Internasional yang dilakukan untuk merusak kaum muslimin di Indonesia/ dunia.
4. Mewaspadai gerakan ideologi Internasional (Transnasional) dari berbagai kelompok yang secara bersama-sama masuk ke Indonesia setelah kebebasan reformasi yang ujung-ujungnya membahayakan NKRI, Ideologi Pancasila, konstitusi UUD 45 dan sendi-sendi proklamasi RI. Kelompok-kelompok ini mulai menyusupi dan mengambilalih masjid-masjid NU dengan menghujat kebiasaan amaliyah NU selama ini. Masjid-masjid harus dijaga betul agar tidak dijadikan pangkalan menyerang NU dan republik.

Selasa, 13 Desember 2011

mengenang seorang yg tlah tiada ( Al Palah II )

Ada..................
adanya tidak diadakan yang ada apa lagi tiada
adanya tidak diadakan kamu dia dan mereke

adanya tidak ditiadakan yang ada apalagi tiada
adanya tidak ditiadakan aku kamu, mereka

adanya justru mengadakan yang ada dari tiada
adanya justru mengadakan dan meniadakan aku kamu dia dan mereka

ada...................
bagaimana mungkin dia ada tidak diadakan yg ada apalagi tiada ?.........
bagaimana engkau tau dia ada..........
bagaimana engkau yakin dia ada........

bagaimana mungkin asap tak berapi.......?
bagaimana mungkin air tak bersumber.......?

tpi aku yakin dia ada
aku tahu dia ada dan tkan pernah tiada





Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati


Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

Sabtu, 10 Desember 2011

Orang yang Memiliki Mimpi Terindah


Nasruddin mengenakan jubah sufinya dan memutuskan untuk melakukan sebuah pengembaraan suci. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang yogi dan seorang pendeta.

Mereka bertiga sepakat membentuk tim. Ketika sampai di sebuah perkampungan, kedua teman seperjalanan meminta Nasruddin untuk mencari dana, sementara mereka berdua berdakwah. Nasruddin berhasil mengumpulkan uang yang kemudian dibelanjakannya untuk halwa.

Nasruddin menyarankan agar makanan itu segera dibagi, tapi yang lain merasa belum terlalu lapar sehingga diputuskan untuk membaginya pada malam harinya saja.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Dan ketika malam tiba, Nasruddin langsung meminta porsinya "karena akulah alat untuk memperoleh makanan itu."

Sementara itu, yang lain tidak setuju. Sang pendeta mengajukan alasan. Karena bentuk tubuhnya yang paling bagus, maka pantaslah kalau ia yang makan lebih dulu.

Sang yogi juga menyampaikan keadaan dirinya bahwa ia hanya makan sekali dalam tiga hari terakhir ini. Karenanya harus mendapat bagian yang lebih banyak.

Akhirnya mereka putuskan untuk tidur dengan sebuah janji bahwa yang malamnya bermimpi paling bagus, boleh makan halwa lebih dulu. Begitu bangun, sang pendeta bilang: "Dalam mimpi aku melihat pendiri agamaku membuat tanda salib. Itu berarti aku telah memperoleh berkah istimewa."

Yang lain merasa amat terkesan, tapi kemudian sang yogi menyambung: "Aku mimpi pergi ke Nirwana, tapi tidak menemukan apa-apa."Sekarang giliran Nasruddin.

"Aku mimpi bertemu seorang guru Sufi, Nabi Khidir, yang hanya muncul di depan orang yang paling suci. Ia berkata: 'Nasruddin, makanlah halwa itu sekarang juga!' Dan, tentu saja, aku harus mematuhinya."

Senjata Makan Tuan, Ajaran Makan Guru

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."

Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut,

"Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?" tanyanya.

Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya.

"Silakan," kata sang ayah. Ia berkata,

"Aku melihat benda panas berwarna merah."

"Benda apa itu?," tanya sang ayah.

"Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar.

"Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.

Jumat, 09 Desember 2011

SYAIR BERDARAH

Ketika kata-kata……………
Sudah tidak bisa menjawab tanya……………
Maka bahasa pedanglah yang bicara………………
Bahasa para ksatria……………
Bahwa bumi mununtut sesaji darah manusia……………
Pedang……………
Taring betarakala sedang di amuk murka……………
Amarahnya menelan rembulan jadi gerhana……………
Bumi……………
Gelap pekat menangis air mata merah……………
Gemerlap kilat pedang menusuk dunia……………
Darah mengalir dari ujung pedang kekuasaan……………
Tergelar dari ujung pedang……………
Sebagaimana derita juga tergelar dari ujung yang sama……………

ku ajarkan kamu tentang Bid'ah


BETAPA banyak Rasulullah saw mengucap kan tatowwu’an dalam hadit-hadits nya. Namanya tatowwu’ adalah bid’ah.
Ketika masalah bid’ah saya ajukan pada salah seorang kyai Buntet Pesantren, beliau justru menyuruh saya untuk melihat pada kata-kata “tatowwu’. Sebab katanya, Nabi Saw seringkali mengucap kan kata-kata itu. Setelah saya cek, benar!. Ditemukan lebih dari 139 kata ‘tatowwu’ dalam kutubuttis’ah. Tidak termasuk kalimat turu nannya (tasrifan).


Tatowwu’ dalam Al Qur’an

Di dalam alquran sendiri ada dua kata tatowwu: masing-masing pada Surat Al Baqarah, 158 dan 184)
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ الله شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyu kuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah, 158)
Kedua,
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
“Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.” (Al Baqarah, 184).
Kesimpulannya, arti tatowwu, dari ter jemah yang tertulis adalah menger jakan suatu kebajikan.
Tatowwu’ dalam Hadits
Apakah tatowwu’ itu masuk dalam kategori bid’ah? Se be lum nya mari kita lihat kata-kata tatowwu’ yang disabdakan Nabi saw. Saya ambil salah satu contoh dari kitab shoheh Bukhari no. Hadits 44. Hampir di semua kitab hadits termasuk dalam Kitab Muwatto Ibnu Malik banyak menulis ungkapan Nabi Saw dengan kaliamat “tatowwu’”. Di bawah ini adalah contoh dari Shoheh Bukhari h. No. 44.
…جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ….. هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
Artinya: seorang laki-laki dari Najd bertanya tentang Islam kepada Rasulullah saw lalu dijawab:
“Ada lima sholat sehari semalam.”
“Adakah lagikah selain sholat lima waktu buatku?”
“Tidak ada! Kecuali tatowwu’ (suatu kebajian)”
“Lalu berpuasa Ramadhan” Lanjut sabda Nabi Saw yang mulia.
“Ada lagikah selain puasa ramadhan buatku?”
“Tidak ada! Kecuali tatowwu’ (suatu kebajikan)”
“Kemudian berzakat” Sabda Nabi Saw yang mulia.
“Ada lagikah selain berzakat buatku?”
“Tidak ada! Kecuali tatowwu’ (suatu kebajikan)”
“Demi Allah, saya tidak akan menambah dan menguranginya.” Sahut lelaki itu sambil berlalu.
“Baguslah jika benar (adanya).”
Keterangan yang ditulis dalam kitab “Fathul Baari” itu merupakan dialog yang menjelaskan tentang Syareat Islam. Se men tera syahadat tidak termasuk, karena dikategorikan bukan syareat perbuatan (syarun fi’liyyah). Demikian juga syareat Haji tidak disebut karena kemungkinan belum disyareatkan atau memang perawi sengaja meringkasnya.
Kalimat “Illa attatowwu’ termasuk istisna muttashil. Menurut Al Qurthubi, hal ini karena menghilang kan kewajiban (wajib nafi) bagi yang lain. Maksudnya selain sembahyang lima waktu atau lainnya tidak ada lagi kewajiban. Terkecuali melakukan sesuatu yang dianggap baik (tatowwu’). Kemudian kata Al Qurthbi, adanya istisna menunjuk kan “nafi isbat”. Maksudnya dengan pengecualian itu, menunjukkan bahwa tatowwu’ hukumnya tidak wajib. Seolah-olah Nabi saw bersabda: “Tidak ada kewajiban sesua tupun selain shalat lima waktu, kecuali kamu ingin ber-‘tatowwu’ maka silahkan dikerjakan.
Adapun ungkapan “aflaha in shodaqo” –bagus jika benar- maksudnya menurut riwayat Ismail bin Ja’far, tidak ada perubahan sifat shalat fardu seperti menambah shalat dhuhur satu rokaat, atau menambah maghrib menjadi empat rokaat. Bahkan dalam shoheh bukhari pada hadits no-1785 menyebutkan bahwa Nabi Saw bersabda; “akan masuk syurga jika (tatowwuu’) dikerjakan dengan benar.”

Apa sih bid’ah itu?

Kamus Al Muanawwir menulis: meru pakan jamak dari kata “bida’un” artinya: perkara baru dalam agama; ciptaan baru; atau madzhab baru.
Bid’ah dalam Alqur’an menurut Tafsir Al Qurthubi, meru pakan bid’ah yang dila rang adalah seperti yang dilakukan oleh agama-agama pra Islam seperti berikut:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
Artinya: “Dan mereka (pengikut Isa bin Maryam) mengada-adakan rahbaniy yah (tidak beristri, tidak bersuami dan me ngurung diri dalam biara atau seje nisnya) padahal Kami tidak mewajib­kannya ke pa da mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya).” (Al Hadiid: 27).
Al Qurthubi dalam Tafsir Ahkamnya, me nga takan bahwa maksud kata: “kullu mu had datsin bid­’atan”, setiap yang baru adalah bid’ah, adalah sesuatu yang tidak ada syariat me ngesah kannya. Jika se suatu itu tidak ada, maka masuk dalam ayat tersebut. Katanya..

Bid’ah dalam Hadits

Tersebut dalam kitab Sunan An Nasai hadits no. 1560 khutbah Nabi saw:
….وشر الأمورمحدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار…..
“Sejelek-jelek masalah adalah yang baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka. (HR. An Nasai)
Dalam Syarah hadits ini, Sunan An Nasai lil Imam As Sayuti, mengutip perkataan Imam Nawawi: ungkapan “setiap bid’ah itu sesat” adalah perkataan umum lalu dikhususkan. Maksud­nya bid’ah itu asalnya menunjukkan umum. Sedangkan menurut ahli bahasa, “bid’ah” adalah : “kullu syai-in amalun ‘alaa ghoiri mitsaalin saabiqin” setiap sesuatu per buatan yang tanpa contoh dari orang-orang dahulu.
Imam Hafidz bin Rajab dalam Kitab “Jami’ Ulum wal Hukm” seperti yang dikutip oleh kitab “Aunil Ma’bud”, me nga takan bahwa bida’ah itu ada dua: bid’ah lughowi dan bid’ah syarie. Adapun perkataan Nabi Saw yang mulia: Kullu bid’atin dholalah. Adalah sebuah peri ngatan bagi umatnya akan adanya hal-hal yang baru yang dibuat-buat lalu diko kohkan dengan sebuah peringatan: Kullu bid’atin dolalah, setiap bid’ah itu sesat.
Lanjut kitab itu menulis bahwa arti bid’ah adalah sesuatu yang dianggap baru yang tidak berdasar pada syariat yang menun jukkanya. Namun jika ada dasar syariat nya yang menunjukkan perbuatan baru itu, maka bukan dikategorikan bid’ah syariat tapi masuk bid’ah bahasa. Itulah yang diungkap oleh Nabi : “Kullu bid’atin dlolalah”. Dalam kitab Jawamiul ka lim, sesuatu yang baru itu tidak keluar sedi kitpun dari dalil itu.
Sebagaimana perkataan ulama salaf, tulis kitab tesebut, adapula istilah “istihsan”. Ia masuk dalam kategori bid’ah tapi masuk dalam kategori bid’ah bahasa bukan bid’ah syariat. Artinya, dibo lehkan. Contoh bid’ah loghoh tapi bukan bid’ah syari adalah perkataan shahabat Umar ra:
“sebaik-baik bid’ah adalah ini” beliau menunjuk pada perkara baru yaitu shalat Tarawih. Beliau pun berkeyakinan jika itu bid’ah, senikmat-nikmatnya bid’ah. katanya:
إن كانت هذه بدعة فنعمة البدعة
Contoh lain yang masuk dalam kategori bid’ah bahasa tapi bukan bid’ah syariat adalah seperti yang ditetapkan oleh Utsman r.a. dalam menetapkan adzan pertama shalat Jum’at. Kemudian Sha habat Ali kw. mengokohkan sebagai amalan kaum muslimin.

Mengikuti Khulafaurrasyidin

Memahami bid’ah tidak terlepas dari ketetapan Nabi saw agar kita mengikuti sahabat yang empat (khulafaurrasyidin). Sebagaimana hadits nabi saw:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
“Hendaknya kalian mengikuti jalanku, dan jalan para khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk” (Menurut Abu Isa, Hadits ini Hasan Shoheh).

Bid’ah antara Sistem dan Metode

Jika kita lihat contoh-contoh di atas, maka hal ini bisa disepadankan dengan kategori sistem dan Metode. Sistem yang berlaku misalnya ingin pergi ke Jakarta. Apakah hendak menggunakan jalan darat, mau cepat atau lambat atau bahkan menggunakan kendaraan jenis apasaja. Itu semua namanya metode. Dengan sistem yang sama metode berbeda, semua akan sampai ke Jakarta. Itulah Bi’dah. Begitu jelas adanya.
Mengerjakan shalat sunnah oleh Nabi disebut ‘tatowwu’, Itulah sistem (prinsip syariah). Sedangkan metodenya adalah shalat apapun baik di kendaraan, di rumah, di masjid, waktu siang, pagi, sore atau malam. Semua itu diserahkan kepada kita. Karena masuk dalam kate gori ‘tatowwu’ atau perbuatan bagus. Jika coba-coba mengubah system, mi salnya shalat Duhur dikurangi, Magh rib ditam bah rokaatnya, maka itu keluar dari sistem. Karennya ditolak (dolalah!).
Karena itu shalat dengan berbagai waktu dan rakaat sudah ada ketentuannya. Ini masuk sistem. Lalu metodenya ada banyak nama: jika malam hari setelah tidur, disebut shalat tahajud. Jika belum tidur, qiyamulail namanya. Perkara jenis shalatnya yang mau dikerjakan diserah kan masing-masing. Jika pagi disebut shalat duha dan seterusnya. Bahkan banyak para ulama menulis ada banyak jenis shalat tatowwu: shalat qobliyah, ba’diyah, tahiyat masjid, isyrok, birrul walidain, tobat, tasbih, sunnah wudhu dan lain-lin itu semua masuk shalat sunnah mutlak, dan dikategorikan ‘tatowwu’.
Berpuasa Sunnah. Ada banyak jenis puasa. Misalnya puasa rajab. Di zaman Nabi Saw tidak ada puasa ini. Tapi Nabi saw dipersilahkan melakukan puasa ‘tatowwu’an. Jadi bentuk-bentuk puasa sunnah itu masuk metode tatowwu’an. Jadi jika kita mengikuti puasa yang dikerjakan para ulama. Tidak melanggar. Karena Ulamapun sudah meneliti dan memahami betul jenis-jenis puasa ini. Karena itu sangat jelas dan gamblang bahwa tatowwu itu adalah bid’ah.
Berdzikir. Bacaan bagus ini tidak diragukan lagi dasar hukumnya. Dzikir disuruh dibaca anywhere, anytime, any situations (Ali Imran: 191). Jadi boleh saja dibaca pada moment muludan, marhabanan, akekahan, selapanan, tahlilan, tujuh bulanan dll. Semua istilah-istilah itu merupakan produk budaya dimana orang-orang berkumpul untuk membaca shalawat, dzikir dan baca Qur’an. Benar-benar tidak ada dalam masa Rasul saw. Namun itu semua diserahkan kepada umatnya. Karena mengacu pada kata : “tatowwu’an”.
Membaca shalawat. Bukankah mem baca shalawat sistemnya sudah dibaku kan oleh syariat (Al Ahzab: 56). Karena nya shalawat berlaku dan menjadi syarat syah shalat. Sistem bacaanpun sudah baku dengan ucapan doa kepada Nabi saw dan diajarkan dalam banyak hadits shoheh: “Allahumma shalli ala Muhammadin”.
Bahkan Allah dan malaikatpun senan tiasa bershalawat kepada Rasululllah saw. Lalu para ulama membuat redaksi sha lawat. Itu baru masuk metode bersha lawat. Sehingga berbeda jenis, nama dan waktunya: ada shalawat tafrijiyah, shala wat nariyah, shalawat fatih dll. Semua itu disebut metode (cara/penamaan). Dan semuanya diawali dengan ucapan sperti diajarkan Rasul: “Allahumma shalli ‘alaa muhammadin”. Jika shalawat terdapat dalam al qur’an disebut shawalat yang bersyar’i maka shalawat yang masuk kategori ‘tatowwu’ adalah yang berma cam-macam tadi.
Shalawat berbentuk syair. Ini pun masuk metode bershalawat. Maka lahirlah karya: Barzanji, oleh Sayyid Ja’far Al Barzanji; Addiba’i, Natsar, Syarful Anam, Ratibul Haddad, Qasidah Burdah dan lain-lain. Semua itu adalah pengem bangan dari metode bershalawat, karena tatowwu’ tadi.
Jadi semua itu bukanlah bid’ah syari’ tetapi masuk dalam kategori bid’ah lughowi. Sebagaimana Umar dan Ustman pun melakukan bid’ah lughowi. Bagai mana menetapkan Shalat tarawih dan adzan pertama Jum’at sebagai “ni’matul bid’ah hadzihi” inilah sebaik-baik bid’ah.
Singkatnya bid’ah yang disebut di atas, tidak melanggar syariat. Karena masuk dalam kategori tatowwu’. Dan bid’ah-bid’ah yang tidak melanggar syari’at itu masuk kategori ‘tatowwu’ (perbuatan baik).
———
Agama Islam sudah sempurna, apa yang kemudian dikerjakan adalah bagian dari kesempuarnaan itu, termasuk hal-hal yang baru dalam agama namun bernilai baik itu pun diizinkan Nabi. Jadi plis deh ah, jangan menyebarkan pitnah eh fitnah, kepada umat Islam dengan mengatasnamakan Islam apalagi mengatasnamakan Rasulullah shallahu a’alaihi wasallam.
“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).

Pidato Ketua Umum PBNU Pada Forum Perdamaian Timur Tengah Peran Nahdlatul Ulama dalam Konflik Timur Tengah


Pidato Ketua Umum PBNU Pada Forum Perdamaian Timur Tengah
Peran Nahdlatul Ulama dalam Konflik Timur Tengah
Kepada Yang Terhormat:
Presiden RI,  Susilo Bambang Yudhoyono
Raja Arab Saudi
Raja Jordania
Presiden Syiria
Presiden Mesir
Ketua OKI sekaligus Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi
Ketua Rabitah Ma’ahidil Islam
Pimpinan Hamas dan Fatah dari Palestina
Mufti Sunni Mesir
Mufti Sunni  Syiria
Mufti Sunni Lebanon
Mufti Syi’ah Iran
Mufti Sunni Jordani
Ketua Umum PP Muhammdiyah, Prof Dr  Din Syamsuddin
 
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Syukur alhamdulillah berkat taufiq dan hidayah serta Inayah Allah Swt., pada hari ini tanggal 3 hingga 4 April 2007 ini, PBNU memperoleh kehormatan besar menjadi panitia penyelenggara Forum Perdamaian Timur Tengah. Kegiatan ini bisa terselenggara karena dukungan yang tak henti-hentinya dari para ulama, mufti dan pimpinan negara Islam Timur Tengah.
Peran Ketua OKI yang sekaligus Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi juga begitu besar atas terselenggaranya forum ini. Dalam perbincangan kami beberapa waktu di Jakarta, saudara kita Abdullah Badawi menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap terciptanya perdamaian permanen dalam konflik Timur Tengah, juga terhadap proses ukhuwah Islamiyah di antara negara Islam di dunia ini.
Peran yang begitu besar juga ditunjukkan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang mendorong dan mememfasilitasi terselenggaranya forum ini sejak awal. Berkat dukungan dan bantuan dari Presiden SBY, kami bersama Menteri Luar Negeri, Hassan Wirayudha bertemu dengan sejumlah ulama dan pimpinan negara Timur Tengah untuk minta dukungan dan persetujuan terselenggaranya forum ini di Istana Bogor, Indonesia ini.
Untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada para ulama, para Mufti dan pejababat negara Islam di Timur Tengah, dan sekaligus kami ucapkan selamat di Indonesia. Walaupun di tengah perjalanan kami cukup was-was sehubungan dengan terjadinya voting yang diambil oleh kelompok 15 DK PBB yang memutuskan memberi sanksi kepada Iran. Tentu keputusan ini tidak dikehendaki oleh kita semua. Namun apa boleh buat, semua sudah terjadi. Kita tidak boleh berhenti berjuang untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, yang selanjutnya jika terjadi suasana aman dan tenteram di Timur Tengah dan negera-negara Islam, kita melangkah lebih jauh untuk meningkatkan kerjasama yang lebih erat dan intensif lagi dalam rangka mewujudkan izul Islam wal muslimin.
Hadirin Yang terhormat
Kesadaran Berukhuwah Islamiyah Terselanggaranya forum ini, didorongan oleh keprihatinan menatap kondisi umat Islam dalam pentas global. Dalam korun tiga abad belakangan ini, kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia begitu memprihatinkan dalam berbagai lini kehidupan. Meski secara ekonomi, memang ada sebagian negara-negara Islam yang membanggakan berkat kekayaan alamnya berupa minyak. Namun, harus diakui bahwa negara-negara Islam baik dalam bagian-bagiannya, maupun secara keseluruhan tidakberada dalam posisi suprioritas atau menjadi subyek yang menentukan dalam percaturan global. Negara-negara Islam hingga detik ini, masih menjadi negara-negara inferior, tidak menentukan dan bahkan kerapkali menjadi ’bidak catur’ yang gampang diatur oleh negara Super Power. Negara-negara Islam, menjadi sub-ordinasi dan dihegemoni oleh negara-negara maju.
Kesenjangan kaya-miskin dan lemahnya ukhuwah Islamiyah di antara negara-negara Islam Timur Tengah telah dijadikan target dan obyek untuk dipecah belah oleh negara- maju. Negara-negara Islam didesain terpolarisasi: ada yang dijadikan kawan dan ada yang dijadikan lawan. Kondisi ini secara tidak disadari telah menjadikan negara-negara Islam sebagai medan adu domba (divide et empera), sehingga negara Islam yang satu dilumpuhkan dan dihancurkan oleh negara Islam lainnya.
Rapuhnya persatuan dan kesatuan dan semangat tolong menolong atau ta’awun antara sesama negara Islam, menjadikan sasaran empuk bagi musuh untuk digiligir, ditaklukkan satu persatu. Celakanya proses penaklukkan satu negara justru dibantu oleh negara Islam lainnya. Lihat misalnya, hancur luluhnya Afghanistan diserang Amerika dan sekutunya difasilitasi dan dibantu oleh Pakistan.
Dalam perang Irak-Iran, Irak dibantu Amerika. Namun, justru ketika Perang Teluk I, Irak malah diserang AS dan sekutunya justru dibantu oleh negara tetangganya, Arab Saudi dan sebagainya. Perang teluk II, yang menyebabkan Irak akhirnya hancur luluh seperti sekarang ini, sebenarnya tidak karena invasi AS dan sekutunya melainkan dukungan dan fasilitas yang diberikan oleh negara-negara Islam juga.
Kini, ada tanda-tanda Iran akan menjadi sasaran selanjutnya. Dan lagi-lagi negara-negara Islam dalam posisi tidak berdaya, menghadapi keroyokan negara kuat dalam kelompok 15 negara DK PBB. Apakah keputusan Resulosi PBB yang memberi sanksi bagi Iran tidak bakal dijadikan dasar legitimasi bagi AS dan sekutunya untuk kembali menginvasi Iran sebagaimana telah dilakukan  terhadap Irak? Wallahu’alam bishshawab.
Hadirin, peserta Forum yang berbahagia
Kenyataan yang memprihatinkan kalangan negara-negara Islam itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama, sebagai jam’iyah Islam dengan anggota yang mencapai 60 juta umat, yang mempunyai jamaah terbesar di dunia, untuk menggerakkan ukhuwah Islamiyah di kalangan umat Islam seluruh dunia. Meski, posisi umat Islam Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara lainnya. Namun, hal itu tidak menjadikan kami untuk berkecil hati demi terwujudnya perjuangan mulia ini. Sesungguhnya, berdasarkan musyawarah kami dengan berbagai ulama dan mufti-mufti agama Islam di Timur Tengah serta para pejabat negara-negara Islam, kini telah muncul harapan besar yang akan menjadi pendorong arus kesadaran untuk kembali memperkokoh ukhuwah Islamiyah.
Dalam perbincangan kami dengan Panglima Hamas, Khaleed Meshaal di Damaskus, misalnya kami berdiskusi seru soal mengapa Hamas dan Fatah berkelahi antar sesama muslimnya. Padahal mereka mestinya bersatu padu melawan penjajah Israel yang telah melakukan pendudukan selama 60 tahun di Palestina. Kami nyatakan kepada pimpinan Hamas bahwa perkelahian sesama muslim akan menguntungkan musuh Israel, karena akan mendapatkan kemenangan gratis. Kami bilang jangan pernah berharap penjajah akan melakukan amal sholeh buat kemerdekaan Palestina.
Penderitaan dan penindasan selama 60 tahun yang dialami muslim Palestina, tidak seberapa jika  dibandingkan dengan penjajahan bangsa dan umat Islam Indonesia yang telah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Namun, karena berkat perjuangan para ulama di negeri ini, sehingga bangsa dan umat Islam bersatu padu berhasil mengusir musuh.
Sesungguhnya bukanlah persenjataan yang canggih yang ditakuti musuh-musuh negara-negara Islam, melainkan mereka takut kalau umat Islam bersatu menegakkan ukhuwah Islamiyah.
Demikian juga, ketika kami berkdiskusi dengan sejumlah  tokoh sunni maupun syi’ah di Timur Tengah  tentang terjadinya konflik sektarian di Irak pasca invasi Amerika antara sunni-syi’ah. Para ulama sepakat, bahwa bertahun-tahun di Irak tak pernah terjadi konflik antara sunni versus Syi’ah. Justru mereka terbiasa dengan saling bertetangga dan bahkan melakukan perkawinan antara sunni-syi’ah. Terjadinya konflik, justru setelah pasca invasi AS dan sekutunya.
Ketegangan Sunni lawan Sunni pun juga terjadi antara sunni Lebanon dengan sunni Syuriah, namun itu pemicunya juga karena pihak luar yang memecah belah, terutama setelah terbunuhnya mendiang PM Hariri di Lebanon.
Tumbuhnya kesadaran akan ukhuwah islamaiyah yang awalnya secara sporadis ini yang menjadi  tekad kami untuk terus dimatangkan dan dimantapkan dalam Forum di Bogor ini. Mudah-mudahan semangat ini terus menggelinding sehingga cita-cita yang menjadi dambaan semua umat Islam di dunia, yaitu bangkit dan jayanya kembali Islam dalam pentas global menjadi kenyataan.
Hadirin Yang Diberkati Allah
Islam Rahmatan Lil’alamien: Tawassuth wal i’tidal
Apa yang menjadi modal Nahdlatul Ulama untuk melakukan semua ini? Nahdlatul Ulama mempunyai kredo: Islam Rahmatan Lil’alamien sebagai sumber gerekannya. Islam Rahmatan Lil'alamin bukan hal baru dan istilah qurani yaitu sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anbiya' ayat 107:  ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin)’’.     
Islam yang dilakukan secara benar akan mendatangkan rahmat, baik untuk orang Islam maupun bagi seluruh alam. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa rahtmatan lil’alamin adalah bersatunya kurnia Allah yang terlingkup di dalam kerahiman dan kerahmanan Allah.
Dalam konteks Islam rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Bagaimana Islam rahmatan lil’alamin dimplementasikan ke dalam NU? NU menerjemahkan konsepsi rahmatan lil’alamin lewat pendakatan tawassuth dan i’tidal yang dikongkritisasikan ke dalam sikap nahdliyah.  Tawassuth atau garis tengah adalah cara membawakan atau menampilkan agama yang kontekstual. Sedangkan i’tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Jadi tawassuth itu menjelaskan posisi, sedangkan i’tidal adalah akurasi dan konsistensi. Penggabungan tawassuth dan i’tidal dapat didefinisikan sebagai pengertian terhadap Islam yang tepat dan benar,  kemudian dibawakan secara metodologi yang benar pula.  Kalau digabungkan melahirkan kebenaran agama yang dibawakan secara benar pula.
Dalam menjalankan posisi  tawassuth dan i’tidal di tengah-tengah masyarakat, NU menggunakan tiga pendekatan, yaitu:
1.      fiqhul ahkam, dalam rangka menentukan hukum fiqih dan ini berlaku untuk untuk umat yang telah siap melakukan hukum positif Islam (umat ijabah).
2.      fiqhu Dakwah dalam rangka mengembangkan agama di kalangan masyarakat luas yang beraneka ragam, sehingga pendekatannya  tidak menggunakan pendekatan fiqih yang legal formal, namun melalui pembinaan (guidance and counseling).
3.       Fiqhu Siyasah,  bagaimana membawakan hubungan agama dengan politik, dan kekuasaan negara.
Tawassuth dan i’tidal  melahirkan langkah lanjutan yaitu tasamuh (toleran),  tawazun (berimbang) dan tasyawur (musyawarah/dialog). Tasamuh, pengertiannnya adalah keseimbangan antara prinsip dan penghargaan kepada prinsip orang lain. Tasamuh lahir karena orang mempunyai prinsip, tetapi menghormati prinsip orang lain.  Mempunyai prinsip, tetapi tanpa menghormati prinsip orang lain mengakibatkan i’tizal (eksklusif), mengaku dirinya yang paling benar. Maka, jika seseorang sudah melakukan tasamuh, maka akan berlanjut dengan melakukan tawazun (kesimbangan-keseimbangan). Dan, jika sudah melakukan tasamuh dan tawazun orang akan terdorong untuk melakukan tasyawur, yaitu melakukan dialog dalam setiap penyelesaian persoalan.
Hadirin Sekalian Seperjuangan
Fikrah Nahdliyyah
Dalam perjalanan waktu, NU telah bersinggungan dan berhubungan dengan organisasi lain, yang sedikit banyak mengubah, bahkan ada kekhawatiran belakangan ini kader NU kehilangan jati dirinya. Bertolak dari fakta sosial dan fakta sejarah inilah, kemudian timbul gagasan untuk membingkai Fikrah Nahdliyah.  Reformulasi Fikrah Nahdliyah dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai historis dan tetap meneguhkan garis-garis perjuangan Khittah 1926, serta menjaga konsistensi warga NU agar berada dalam koridor yang ditetapkan organisasi.
Dengan demikian Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran ahlussunnah waljama’ah yang dijadikan landasan berfikir untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah (perbaikan umat). Dalam merespon permasalahan baik yang berkenaan dengan isu-isu keagamaan maupun kemasyarakatan, NU memiliki manhaj sebagai berikut:
1.      dalam bidang aqidah/teologi mengikuti pemikiran ahlussunnah waljama’ah khususnya pemikiran Abu Hasan al-Asy’ariy dan Abu Mansur al-Maturidiy
2.      dalam bidang fiqih/hukum Islam bermadzhab qauliy dan manhajiy kepada al-madzahib al-Arba’ah
3.      dalam bidang tasawuf mengikuti Syaikh Junaid al-Baghdadiy dan Abu Hamid al-Ghazaliy.
Kemudian ciri-ciri (khashaish) kader yang mempunyai Fikrah Nahdliyah adalah sebagai berikut:
1.      Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya warga NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi berbagai persoalan. Maka, NU tidak tafrith atau ifrath, yaitu melakukan sikap ekstrim baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan.
2.      Fikrah Tasamuhiyyah (pola pikir toleran), yaitu warga NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun cara pikir, budaya dan aqidahnya berbeda.
3.       Fikrah Islahiyyah (pola pikir reformatif), artinya warga NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-ashlah).
4.      Fikrah Tathowwuriyyah (pola pikir dinamis), artinya warga NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5.      Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya warga NU selalu menggunakan kerangka pikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh