BERDALIL SECARA SERAMPANGAN
Setelah membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi
menyangkut tuduhan mereka tentang bid'ah, kita dapat mengetahui bahwa
keberadaan dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan
pemahaman anti bid'ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa
dalil-dalil tersebut semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah
tertentu, sedangkan fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah seperti
memberikan rincian yang tidak pernah disebutkan oleh dalil. Para ulama saja
tidak berani melakukan hal itu sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci,
sehingga mereka hanya berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk
membolehkan suatu perkara atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat
digunakan untuk segala macam perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun
yang berhubungan dengan urusan dunia.
Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun
tidak dapat dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya
secara harfiyah (tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya lagi dengan dalil-dalil
lain yang mungkin mengarahkan maknanya. Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan
sangat gegabah, karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori
memahami dan meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau
pada akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.
Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi
& Wahabi juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung
pendapat-pendapat mereka tentang tuduhan bid'ah. Sepertinya, hal itu
mereka lakukan agar kesan "salah" pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan
bid'ah tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan. Namun
lagi-lagi dengan cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah
kegagalan memahami dalil-dalil pokok bid'ah. Dengan kata lain,
maksud hati ingin memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa
daya pemahaman yang keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan
mereka. Mengapa begitu?
Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung
itu bukan pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka
memahami dalil yang serba harfiyah (tekstual). Mau tahu buktinya? Mari
kita ambil beberapa contoh.
1. Dalil tentang
tuduhan "menambah-nambahi agama" yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku
bid'ah.
" …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu ..." (QS. Al-Maidah: 3)
Agama Islam memang sudah sempurna, siapa pun orang Islamnya
tahu itu. Melakukan amal kebajikan adalah perkara yang diperintahkan di dalam
agama, meski bentuk kebajikannya tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. dan
para shahabat beliau, yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip kebajikan
menurut agama.
Bagi kaum Salafi & Wahabi, umat Islam yang
mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur
orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya dituduh telah "menganggap agama
Islam ini masih kurang" alias belum sempurna sehingga mereka tega
"menambah-nambahi agama", bahkan dengan begitu mereka dituduh telah menganggap
Rasulullah Saw. berkhianat dalam menyampaikan agama. Sungguh keji tuduhan
ini!
Sesungguhnya, tidak seorang pun dari para ulama dan umat pelaku
Maulid atau tahlilan itu berniat menambah-nambahi agama, apalagi sampai menuduh
Rasulullah Saw. berkhianat. Sungguh hal itu tidak pernah terbersit sedikitpun
dalam benak mereka, yang ada hanyalah pikiran-pikiran tentang mengupayakan
peluang amal kebajikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dengan
begitu diharapkan setiap orang yang ikut serta dalam acara-acara tersebut
mendapatkan pahala, ampunan, rahmat, dan pengkabulan do'a dari Allah Swt.
Format acara yang memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
Saw. atau para shahabat beliau hanyalah suatu wadah yang dibuat secara kreatif
untuk melaksanakan amalan-amalan yang sesungguhnya diperintahkan oleh Rasulullah
Saw. sendiri, seperti: Bersilaturrahmi, berzikir, bershalawat, mendo'akan orang
meninggal, bersedekah, mendengar nasihat atau ilmu, memupuk kecintaan dan
pengagungan kepada Rasulullah Saw., berdo'a, berbagi rezeki, dan memelihara
keimanan serta ketakwaan. Bisa dibayangkan, tanpa acara-acara kreatif seperti
itu, apa jadinya keadaan umat Islam di zaman belakangan ini yang nota bene
perhatiannya kepada akhirat sangat rendah; cintanya kepada dunia sudah menguasai
pikirannya; ditambah lagi acara-acara dunia dan maksiat sudah dikemas jauh lebih
kreatif dan menarik.
Kreasi kebajikan yang digagas oleh para ulama itu pun tidak
pernah diklaim sebagai "tambahan atas kekurangan agama", melainkan hanya sebagai
kegiatan keagamaan yang ditradisikan sebagai adat atau budaya yang dilaksanakan
dalam rangka syi'ar agama. Jadi tuduhan kaum Salafi & Wahabi adalah
tuduhan berlebihan yang diada-adakan dan tidak ada kenyataannya, sedangkan
ayat di atas hanyalah pernyataan dari Allah tentang kesempurnaan Islam,
bukan berisi tuduhan menambah-nambahi agama!
2. Dalil
tentang tuduhan "membuat-buat syari'at".
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain
Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah? …" (QS. Asy-Syuuraa: 21).
Senada dengan tuduhan "menambah-nambahi agama", ayat ini
digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh pelaku Maulid, tahlilan,
zikir berjama'ah, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain-lainnya sebagai
"pembuat syari'at" yang "tidak diizinkan Allah".
Ada tiga hal yang semestinya mereka sadari tentang tuduhan
tersebut:
a. Para ulama tidak pernah menganggap bahwa amalan-amalan
tersebut sebagai bagian dari ibadah mahdhah atau syari'at kecuali bila
benar-benar ada dalil yang menunjukkannya, melainkan hanya sebagai adat atau
kebiasaan baik yang mengandung maslahat. Di sinilah pangkalnya kenapa kaum
Salafi & Wahabi menuduh demikian, karena mereka selalu menganggap amalan
"berbau agama" sebagai "ibadah", di mana ibadah tidak boleh dilakukan kecuali
bila ada dalil yang memerintahkannya.
b. Ayat di atas jelas-jelas menyebut "sembahan-sembahan
selain Allah" yang menunjukkan adanya indikasi "syirik", dan memang
ayat ini ditujukan oleh Allah untuk orang-orang musyrik Jahiliyah
penyembah berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Adalah sangat keterlaluan bila para ulama dan umat Islam yang
melakukan amalan seperti Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya dituduh mempunyai
"sembahan-sembahan selain Allah" yang telah mensyari'atkan kepada
mereka amalan-amalan tersebut. Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi ini
bisa dengan seenaknya menuduh saudaranya yang muslim sebagai orang-orang musyrik
yang tidak mau menerima syari'at Allah lalu malah mengambil syari'at tuhan
selain Allah, padahal mereka jelas-jelas mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan,
membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji?
c. Kaum Salafi & Wahabi juga menuduh amalan-amalan tersebut
sebagai amalan "yang tidak diizinkan Allah". Pertanyaannya, dari mana
mereka tahu bahwa amalan tersebut tidak diizinkan Allah, padahal ayat itu tidak
menyebut perincian jenis atau macamnya? Tidak cukupkah mereka menipu umat dengan
mengatasnamakan tuduhan mereka dengan firman Allah? Sungguh
terlalu! Lagipula, para ulama tafsir sudah menjelaskan, bahwa "yang tidak
diizinkan Allah" itu maksudnya adalah syirik (menyembah berhala atau
menyembah selain Allah), mengingkari pembangkitan di hari Kiamat, atau
keyakinan-keyakinan Jahiliyah lainnya.
3. Dalil tentang
tuduhan "Beragama Tradisi" atau "Fanatik Terhadap Tokoh
Bid'ah"
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170).
Ayat ini termasuk dalil pamungkas yang digunakan kaum Salafi
& Wahabi untuk menyudutkan orang-orang yang mereka tuduh sebagai pelaku
bid'ah. Di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah hal. 84 disebutkan begini,
"Bila mereka diajak untuk mengikuti Kitab al-Qur'an dan Sunnah, dan
diajakmeninggalkan apa yang mereka kerjakan yang bertentangan
dengan keduanya (al-Qur'an dan as-Sunnah) mereka berdalil (berargumen)
dengan madzhab-madzhab mereka dan dengan pendapat guru-guru, orang tua dan nenek
moyang mereka."
Orang awam akan terhenyak mendengar ayat ini, lalu mereka akan
membenarkan penjelasan kaum Salafi & Wahabi, kemudian mengikuti pendapat
mereka. Padahal lagi-lagi mereka telah melakukan penipuan yang sangat fatal,
yaitu:
a. Ayat tersebut di atas berbicara tentang orang-orang kafir
atau musyrikin penyembah berhala yang tidak mau diajak untuk hanya menyembah
kepada Allah dengan alasan mengikuti keyakinan para leluhur dan nenek moyang
mereka dalam menyembah berhala. Keterangan seperti ini bisa didapat di dalam
kitab tafsir yang mana saja, dan itu berarti para ulama tafsir tidak ada yang
berbeda pendapat tentang maksud ayat ini. Hanya kaum Salafi & Wahabi yang
mengarahkan maksud ayat itu kepada umat Islam yang mereka tuduh sebagai ahli
bid'ah, padahal penafsiran mereka yang semacam inilah yang lebih pantas disebut
bid'ah.
b. Kaum Salafi & Wahabi, dengan penafsiran ayat di atas,
bukan hanya memfitnah orang-orang muslim yang dituduh melakukan bid'ah saja,
tetapi juga sekaligus memfitnah guru-guru dan pendahulu mereka atau nenek moyang
mereka yang muslim lagi shaleh yang mengajarkan amalan-amalan kebaikan seperti
Maulid, tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya berdasarkan
prinsip ajaran Islam. Para guru dan pendahulu yang alim dan shaleh itu
mereka anggap sebagai orang-orang yang "tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk", padahal ratusan bahkan ribuan jilid "kitab
kuning" dalam berbagai cabang ilmu agama telah mereka hasilkan dan telah menjadi
hantaran petunjuk bagi banyak orang dari zaman ke zaman.
Salahkah bila seorang muslim ditanya, "Kenapa kamu mengadakan
tahlilan atau Maulid?" lalu ia menjawab, "Karena kami mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh guru-guru kami dan orang-orang tua kami sejak dahulu", sedangkan
yang mengikuti dan yang diikuti sama-sama muslim dan sama-sama memandang
kegiatan tersebut sebagai sebuah kebaikan yang tidak bertentangan dengan prinsip
Islam? Sungguh, hanya orang berpikiran picik saja yang menganggap sama antara
orang muslim yang mengikuti jejak pendahulunya yang muslim dengan orang kafir
atau musyrik yang mengikuti pendahulunya yang kafir atau musyrik juga.
c. Dengan mengajukan ayat di atas sebagai dalil, kaum Salafi
& Wahabi seolah mendeklarasikan diri sebagai orang-orang yang mengikuti
" apa yang telah diturunkan Allah", sedang selain mereka tidak.
Seharusnya mereka bertanya, apakah Allah menurunkan perintah untuk menyamakan
orang muslim dengan orang kafir atau musyrik? Mereka juga seharusnya bertanya,
apakah mereka benar-benar tidak mengikuti guru-guru dan pendahulu mereka dalam
keterlaluan sikap mereka itu??!
Bila ternyata Allah tidak menurunkan perintah-Nya untuk
menyamakan muslim dengan kafir atau musyrik, dan bila sikap yang keterlaluan itu
tidak pernah dicontohkan oleh para guru dan pendahulu mereka, maka ajaran
siapakah yang mereka ikuti sehingga mereka merasa paling benar dan selain mereka
dianggap salah atau sesat? Selama ini, sebagaimana sudah diketahui secara umum,
tidak ada yang mengajarkan arogansi seperti itu dalam hal apapun selain iblis,
saat ia berkata "Aku lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan aku dari
api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. Shaad: 76).
4. Dalil tentang
tuduhan "Mendahului Allah dan Rasul-Nya"
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Hujuraat: 1)
Ayat ini sering dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk
menuduh bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad
Saw., tahlilan, ziarah para wali, dan lain sebagainya telah "mendahului Allah
dan Rasulullah Saw." dalam menetapkan suatu amalan di dalam agama. Dalam bahasa
lain, telah berbuat lancang, karena mengadakan sesuatu amalan yang belum
diperintahkan oleh Allah atau Rasulullah Saw.
Penggunaan dalil tersebut sepertinya tepat, padahal secara
logika sangat tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, mana mungkin disebut
mendahului sedangkan yang didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah
ada lagi sampai hari Kiamat (wahyu al-Qur'an sudah tidak turun, dan Rasulullah
Saw. sudah wafat)? Bisa disebut mendahului apabila ada suatu masalah
yang ditanyakan kepada Rasulullah Saw., lalu ada orang yang berani angkat suara
untuk menjawabnya di saat beliau belum menjawabnya; atau Rasulullah Saw. membuat
suatu keputusan atau pilihan, lalu ada orang yang mengusulkan agar keputusan
atau pilihan itu diganti; atau ada orang yang melakukan suatu amalan sebelum
waktunya padahal waktu pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Allah atau
Rasulullah Saw seperti: Menyembelih hewan kurban sebelum shalat 'Ied,
shalat fardhu sebelum waktunya, dan lain-lain. Intinya, disebut mendahului, bila
proses pensyari'atan masih berlangsung di mana wahyu masih turun dan Rasulullah
Saw. masih hidup, atau bila ketentuan amalan syari'at yang telah ditetapkan
waktunya dilakukan sebelum waktunya tiba.
Lebih fatal lagi kalau tuduhan "mendahului Allah dan Rasul-Nya"
ini diartikan bahwa orang-orang yang melakukan peringatan Maulid atau tahlilan
sudah melakukan kegiatan tersebut padahal Allah atau Rasulullah Saw.
belum menetapkan perintah atau hukumnya. Itu berarti ada
pemahaman seolah-olah wahyu masih diharap akan turun dan Rasulullah Saw. masih
akan bersabda, hanya saja didahului oleh orang-orang itu. Bukankah proses
pensyari'atan sudah selesai, dan bukankah Islam sudah disempurnakan sehingga
tidak akan mungkin lagi turun syari'at baru dari Allah atau dari Rasulullah Saw.
dalam hal menyuruh atau melarang? Jadi tuduhan "mendahului" ini ngawur, tidak
pada tempatnya, terlalu dipaksakan, dan sangat mengada-ngada.
5. Dalil
tentang tuduhan "Berlebihan Dalam Urusan Agama".
Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh
orang-orang yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain
sebagainya sebagai pelaku "ghuluw" (berlebihan) dalam beragama. Sisi
"berlebihan" yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup
dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat
beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam
agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara "amalan bernuansa agama"
dengan "amalan di dalam agama".
Para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan-amalan tersebut
sesungguhnya tidak pernah menganggapnya bagian dari agama atau syari'at,
melainkan hanya sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan
dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh
tidak ada kata "berlebihan", sebab rumusnya di dalam agama, "Sesungguhnya
Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah:
120). Jadi, "semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala
atau ganjaran yang diberikan". Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu,
atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat,
mereka tidak bisa dikatakan "berlebihan di dalam agama", sebab semuanya itu
diberi pahala sesuai dengan amalannya.
Para ulama hadis menafsirkan kata "ghuluw"
(berlebihan) pada hadis di atas dengan makna bersikap keras atau melampaui
batas. Konotasinya –sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras
dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang
sebenarnya mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw
di dalam hadis tersebut dengan ungkapan "telah binasa orang-orang
sebelum kalian".
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil
yang ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit
diri dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail dari
sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan
dengan peristiwa melontar Jamratul-'Aqabah di Mina, saat Rasulullah
Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu melontar, yang
tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil
atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah
Saw. berkata, "Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian
melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw
(berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum
kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama."
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang
"berlebihan di dalam agama", apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya
melakukan kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi &
Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang
sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh
dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!
Perhatikanlah vonis-vonis "berlebihan" yang sering
dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan,
tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka
berkata: "Tidak ada pahalanya!", "sesat!", "sia-sia", "musyrik!", "kafir!",
"masuk neraka!", "tidak ada dalilnya!", "menambah-nambahi agama!",
"mengada-ngada!", "haram!", "jangan bergaul dengan ahli bid'ah!", dan lain
sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat
istilah khusus yang mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali
dengan sebutan "Quburiyyun", bahkan lebih tega lagi ketika mereka
menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan
sebutan "Abdun-Nabi" (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para
penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan
syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur'an Al-Karim, hal. 95,
buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan
itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang
tidak jelas larangannya dengan kalimat-kalimat tersebut?
***********
Pembahasan di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak
keserampangan di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi
dalam berfatwa tentang bid'ah. Sikap serampangan itu bukan hanya
menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari
alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka
anggap sebagai bid'ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega
menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan
musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara mereka yang
muslim.
Lihatlah satu contoh lagi dalil yang sering mereka gunakan
untuk menghukumi orang-orang yang biasa berziarah kubur para shalihin dan para
wali yang sering mereka juluki dengan Quburiyyun, atau orang-orang yang
bertawassul kepada Allah melalui para wali atau dengan jaah (kemuliaan)
mereka, yang dengan itu mereka anggap orang-orang itu telah mengambil
"perantara" dalam berdo'a atau beribadah kepada Allah sebagaimana para penyembah
berhala (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 212), seperti yang difirmankan
Allah sebagai berikut:
"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih
(dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya" . Sesungguhnya Allah akan
memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat
ingkar." (QS. Az-Zumar: 3).
Benarlah sebagian ulama (seperti Syaikh Ibnu 'Abidin al-Hanafi
dan yang lainnya) yang menganggap kaum Salafi & Wahabi ini sebagai bagian
dari kelompok "Khawarij" yang dianggap sesat oleh seluruh ulama, di mana salah
satu cirinya adalah seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari:
| |
Jumat, 02 Maret 2012
BERDALIL SECARA SERAMPANGAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
BalasHapus