Kiai Yahya
adalah tipe pejuang yang gigih, ia terlibat aktif selama masa penjajahan
Jepang dan agresi Belanda, sehingga ia tahu persis peta politik yang
berkembang. Walaupun setelah itu ia pensiun dari aktivitas politik
dengan lebih menekuni dunia pesantren dan pengayoman masyarakat, namun
kepekaan politiknya tetap tajam apalagi disertai penglihatan batinnya
yang cemerlang.
Kalau orang lain merayakan dengan eforia perebutan kekuasaan dari
Soekarno ke Soeharto pada masa Orde Baru melalui Supersemar, sebaliknya
Kiai Yahya mengutuk perbuatan itu, yang dipandang sebagai manipulasi
politik Soeharto pada Presiden Soekarno. Sayang pandangan Kiai itu hanya
didengar para santrinya dan kolega dekatnya, sementara yang lain lebih
percaya pada propaganda para politisi dan siaran media yang manipulatif.
Ini berarti pandangan sang Kiai mendahului temuan para sejarawan yang
mulai diributkan belakangan ini.
Kegeraman Kiai pada Supersemar itu dilampiaskan dengan menyuruh para
santrinya melakukan tirakat selama lima hari, dan disertai bacaan ayat
Al Quran Surat Al Lahab (Celaka) sebanyak seribu kali. Itulah simbul
perlawanan Kiai Yahya terhadap Supersemar yang dianggap sebagai
kecelakaan sejarah, yang akan membawa bangsa ini ke neraka. Benar 32
tahun kemudian bangsa ini terjebak pada krisis moral, politik dan
ekonomi yang mendalam. Pandangan ini persis dengan analisis Oei Tjoe
Tat, yang mengatakan bahwa celakalah orang yang menjebak dan terjebak
dalam peristiwa 1965 itu.
Di sini ada kelompok yang menjebak, membuat skenario agar orang lain
melakukan kekerasan yang kemudian muncul kelompok lain yang terjebak
yakni mereka yang melakukan balasan terhadap kekerasan yang terjadi, dan
ini dilakukan oleh partai-partai politik, organisasi sosial, lembaga
keagamaan, intelektual dan sebagainya, yang semuanya gelap mata
melakukan pembalasan.
Sementara Kiai Yahya dengan ketajaman mata batinnya melihat semua ini
sebagai rekayasa, karena itu ia tidak mau terjebak dengan melibatkan
diri dalam skenario itu, demikian pula para santrinya, tetapi yang lain
larut dalam emosi massa. Karena itulah dalam berpolitik disamping harus
tahu peta politik global, juga perlu disertai ketajaman batin yang
tinggi, agar tidak terjebak dalam skenario para petualang politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar