Allah
Subhanahu Wata'ala menurunkan syari'ah tidak dalam bentuk hukum siap
pakai. Al-Qur'an dan Hadits merupakan bahan hukum (mashaadir
syar'iyyah). Untuk mengolah bahanbahan hukum tersebut menjadi hukum
syari'ah, Allah SWT melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada umat (ulama)
sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Para ulama kemudian
melakukan ijtihad. Ulama yang melakukan ijtihad biasa disebut mujtahid.
Teks Al-Qur'an dan Hadits adalah bagian dari ajaran agama. Adapun
pemahaman (interpretas/) seseorang terhadap teks-teks tersebut belum
tentu merupakan bagian dari agama kecuali pemahaman tersebut
diujipublikkan melalui sebuah proses yang disebut ijma'. Apabila
mayoritas (jumhur) ulama menyatakan, pemahaman tersebut bersih dari
unsur kesesatan, maka pemahaman tersebut mendapatkan legitimasi agama
dan menjadi acuan hukum.
Itulah proses ijma' yang merupakan proses aktif yang fungsinya menyaring
sebuah pemahaman dari unsur kesesatan. Bagaimanapun, ijma’ ulama
dijamin agama. la terhindar jauh dari unsur kesesatan. Karena itu,
ketidaktransparanan dan penolakan terhadap proses uji publik merupakan
bagian dari ciri-ciri aliran sesat.
Ijma' berbeda dengan qiyas. Apabila proses ijtihad dilakukan melalui
analogi terhadap hukum syari'ah yang telah ada, proses tersebut disebut
qiyas. Qiyas adalah alasan hukum yang diambil berdasarkan perbandingan
atau persamaan dengan hal-hal yang telah ada dalam hukum Islam.
Dengan demikian, turuqul ijtihad (metodologi ijtihad) yang sekaligus
merupakan sumber-sumber hukum syari'ah terdiri dari empat tahapan:
Al-Qur'an, Hadits, Ijma', dan Qiyas. Keempat sumber hukum syari'ah
inilah yang hingga kini menjadi pegangan utama umat Islam.
Beberapa hikmah di balik pemberian wewenang untuk ber-ijtihad kepada
umat, di antanya: 1). Hukum syari'ah tidak akan melampaui batas
kemampuan umat, karena umat sendiri yang memprosesnya. 2). Adanya
motivasi ilmu, sehingga umat menjadi cerdas dan paham. 3). Pelimpahan
wewenang melahirkan perbedaan pendapat di antara para ulama yang akhimya
menghasilkan beberapa altematif hukum dalam masalah yang sama. Dengan
begitu, lahirlah beberapa madzhab. Dan hingga akhir zaman, ada empat
madzhab yang diakui: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
4). Dalam kitab-kitab perbandingan madzhab, tidak satu pun dari ulama
madzhab yang menggunakan kalimat seperti "Pendapat ini benar, sedangkan
pendapat yang itu salah." Adapun kalimat yang selalu digunakan oleh
mereka adalah: "Pendapat ini benar, pendapat yang itu lebih benar;
Pendapat ini kuat, pendapat yang itu lemah; Dalam masalah ini ada dua
pendapat atau lebih, dan seterusnya.” Ungkapan-ungkapan tersebut
menunjukkan adanya toleransi yang sangat kuat terhadap perbedaan
pendapat. Selain itu, hati mereka juga lapang dari truth claim (klaim
pembenaran atas pendapat diri) karena memang di dalam fiqih tidak
dibenarkan adanya pengklaiman pendapat yang paling benar. Lebih-lebih,
pemaksaan sebuah pendapat atau madzhab kepada siapa pun.
Umat awam yang tidak terlibat dalam memproses hukum syari'ah, mereka
diberi hak untuk berijtihad dalam memilih madzhab yang cocok dengan
nurani, nalar, dan kondisinya, tanpa ada unsur pemaksaan dari pihak
manapun.
Sebagai dampak dari kebebasan berijtihad ini, terlihat jelas pada
realita: Madzhab Syafi'i dianggap sebagai madzhab yang cocok di daerah
tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Madzhab ini tumbuh subur
menjadi madzhab mayoritas. Madzhab Hanafi dan Hambali sangat cocak di
daerah subtropis seperti negara-negara yang ada di Asia Tengah: India,
Pakistan dan di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait. Madzhab
Maliki subur di daerah dekat kutub seperti Andalus dan Afrika Utara
seperti Marako, Tunis dan Aljazair.
Umat juga diberi wewenang untuk ber-ijtihad di dalam penerapan hukum
syari'ah. Dalam hal ini, umat telah ber-ijtihad dengan beragam cara:
Sebagian berijtihad melalui formalisasi agama; Sebagian berijtihad
melalui jalur politik; Sebagian berijtihad melalui jalur kultur budaya
religi, yakni penerapan hukum syari'ah yang berpijak kepada kondisi
umat.
Penerapan Syari'ah Berpijak Pada Kondisi
Hukum syari'ah dalam batas-batas tertentu, sebenarnya masih berstatus
teoritis-idealis. Disebut demikian, karena finalnya tidak terletak pada
tataran konsep, tetapi terletak pad a kondisi penerapannya. Dengan
demikian, hukum syari'ah bersifat sangat kondisional. Kondisionalitas
inilah yang menunjukkan syari'ah Islam sangat fleksibel dan tidak kaku.
Sesuatu yang menurut hukum syari'ah wajib, apabila dalam pelaksanaannya
belum memungkinkan karena belum terpenuhinya faktor sebab, syarat dan
keberadaan faktor kendala, baik ekonomi atau kesehatan; maka hukum wajib
itu menjadi berubah. Misalnya, ibadah haji menurut hukum syari'ah
adalah wajib hukumnya bahkan merupakan salah satu rukun Islam. Namun
seorang muslim karena faktor kondisi ekonomi atau kesehatannya yang
belum memungkinkan, hukum wajib tersebut berubah menjadi tidak wajib.
Jadi, finalisasi atau penentu utama dalam pelaksanaan hukum syari'ah
adalah kemampuan dan kondisi umat yang menjadi sasaran dari hukum
syari'ah itu. Kemampuan dan kondisi ini tertuang di dalam ilmu Usul
Fiqih dengan al-ahkaam alwadf'iyah, yakni faktor-faktor sebab,
syarat, dan keberadaan kendala. Dengan begitu, penerapan hukum syari'ah
yang seirama dengan kebijakan agama dapat diberlakukan melalui
upaya-upaya pengondisian umat yang dalam bahasa sosiologi sering disebut
jalur kultur-budaya-religi. Dalam pengondisian tersebut, Allah SWT
selalu memerintahkan kepada umat untuk menghindari segala sesuatu yang
sulit. "Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah." (QS Thaha, 2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar