Selasa, 06 Desember 2011

ISLAM NUSANTARA DAN BERBAGAI ALIRAN DI INDONESIA (1)

ISLAM NUSANTARA DAN BERBAGAI ALIRAN DI INDONESIA (1) Babak Pertama; Mencari Pemimpin Pengganti Nabi Akhir-akhir ini sering kali muncul berbagai masalah ke-Islaman yang sangat menyita perhatian masyarakat. Mulai dari Nabi palsu, permasalahan Ahmadiyah, hingga tentang faham Syi’ah. Hal ini sangat menyibukkan berbagai lembaga keagamaan. Baik lembaga yang berada di bawah naungan negara seperti MUI, Kementerian Agama, DPR komisi VIII atau lembaga Islam yang mandiri seperti NU, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam yang lain.

Tidak sedikit yang menganalisa bahwa kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari permainan politik kekuasaan. Ada juga yang mati-matian menyebutkan bahwa fenomena ini murni bersifat ideologis. Dan ada pula yang melihat dari kaca mata ekonomi. Oleh karena itu, sebelum kita ikut-ikutan berkomentar, alangkah baiknya jika kita tahu duduk persoalannya. Kapan, bagaimana dan dimana mereka mulai ada? Konteks sosial seperti apa yang mendorong lahirnya berbagai aliran tersebut? Barulah setelah itu kita bisa memposisikan mereka dalam ruang ke-Islaman Nusantara ini.

Dengan demikian tulisan ini tentunya akan kembali ke masa lalu. Menelisik sejarah awal semenjak kelahiran Islam di Makkah, kemudian perpindahan dari Rasulullah ke khulafaurrasyidin, hingga transformasi kekuasaan ke beberapa khalifah. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah berbagai kondisi sosial-politik yang melingkupi perjalanan Islam hingga muncul berbagai perbedaan pemahaman akidah.

Masyarakat Arab dan Lahirnya Islam

Tulisan ini diawali dengan sebuah fragmen kecil yang bercerita tentang kisah Afif al-Kindi. Afif al-Kindi adalah seorang pedagang yang sering datang dan pergi dari dan ke Makkah. Maklumlah Makkah adalah sebuah bandar perdagangan besar pada zamannya (hingga sekarang). Makkah adalah kota strategis untuk berdagang. Karena semenjak zaman Nabi Ibrahim Makkah selalu dikunjungi oleh berbagai suku dari macam-macam bangsa. Selain mempunyai tujuan utama beribadah menziarahi Ka’bah Baitullah, orang-orang itu juga datang dengan membawa berbagai barang dagangan untuk saling ditukarkan.

Suatu hari pada musim haji Afif al-Kindi datang ke Makkah dengan membawa barang dagangan. Ditengah kesibukan dagang ia berjumpa dengan al-Abbas paman Rasulullah saw. dengan asyiknya mereka berdua saling bercengkrama. Membahas berbagai hal dan informasi. Sebagai pedagang luar, Afif al-Kindi banyak mengorek informasi dari al-Abbas, mulai dari masalah perdagangan, wisatawan, hingga isu-isu terbaru di kota Makkah? Tiba-tiba saja di saat mereka tengah berbincang, mata Afif al-Kindi menatap seorang laki-laki yang sedang shalat menghadap ka’bah lalu disusul seorang perempuan dan seorang pemuda yang turut shalat bersamanya. Sebagai orang asing, Afif al-Kindi melihat hal itu merupakan suatu keanehan. Maka iapun bertanya kepada al-Abbas “agama apakah itu?”. Al-Abbas Menjawab “Itu adalah Muhammad Ibnu Abdullah putra saudara laki-lakiku. Dia menganggap dirinya utusan Allah (rasulullah) yang berobsesi menggulingkan Persia dan Romawi. Sedangkan perempuan itu adalah Khodijah, istri Muhammad, ia percaya dengan apa yang disampaikan suaminya. Dan pemuda itu adalah Ali bin Abi Thalib, ia juga percaya pada apa yang disampaikan Muhammad”. Al-Abbas masih melanjutkan perkataannya “Tak-ku lihat seorangpun (selain tiga orang ini) di muka bumi yang memeluk agama ini”. Kemudian Afif al-Kindi berkata: “Semoga aku menjadi orang yang ke empat”.

Sedari awalnya, Nabi Muhammad saw memang menggandengkan cita-cita perjuangan Islam dengan penggulingan dua kekuasaan dominan, yakni obsesi untuk menaklukkan imperium Persia dan Romawi (Bizantium) sebagai adikuasa dunia saat itu. Nabi Muhammad saw. melihat penaklukan itu sebagai jalan kesuksesan dakwah Islam di dunia selanjutnya. Kekuasaan bukan tujuan utama, melainkan sebagai wasilah memuluskan jalan penyebaran Islam. Di sisi lain, pemilihan isu penaklukan bangsa Romawi dan Persia yang diangkat oleh Nabi Muahmmad saw. berfungsi untuk menarik perhatian dan menyatukan ambisi politik masyarakat Arab. Wacaana politik ini ternnyata turut menentukan genealogi kemunculan beberapa kelompok (firqah) dalam Islam.

Secara sosiologis, karakter dan lingkungan Arab yang dikelilingi padang pasir juga mempengaruhi watak bangsa Arab. Watak alami pasir itu selain susah disatukan juga bersifat tidak stabil atau labil. Ini sesuai dengan kaedah linguistik bahwa kata (عرب ( berarti bergerak, berubah atau labil. Sehingga al-wasith mengungkapkan kata kerobak dengan (عربة.) Watak ini secara tidak langsung menjadikan bangsa Arab sulit –kalau tidak mustahil- bersatu. Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memiliki fanatisme tinggi sekaligus fatalisme yang mengakar. Tidak mengherankan jika mereka saling bermusuhan antar suku (kabilah) meskipun hanya mengenai urusan sepele. Misalnya hanya karena persoalan salah menghormati tamu berkobarlah perang fijar. Dalam Sirah Nabawiyah Juz I, Ibn Hisyam menerangkan bahwa perang Fijar terjadi ketika Nabi saw berusia 14 tahun atau 15 tahun, perseteruan tersebut antara bani Quraisy yang didukung Kinanah dengan Bani Qais ‘Ailan.

Di tengah-tengah bangsa seperti itulah Allah swt. mengutus Rasulullah saw, untuk membawa misi Islam (risalah Islamiyyah) yang lebih menekankan rehabilitasi moral (akhlaq), persaudaraan (ukhuwah) dan persatuan. Selama kurang lebih 23 tahun beliau mampu meredam fanatisme kesukuan yang telah tertanam dalam diri mereka menjadi fanatisme Islam. Mereka semula bangga dengan gelar kesukuan seperti al-Taymi, al-Adiy, al-Najjariy dan sebagainya, berubah menjadi gelar yang bertalian dengan Islam seperti al-Siddiq, al-Faruq, al-Murtadha dan sebagainya.

Namun, prestasi cemerlang itu tidak bisa dipertahankan terus. Persaudaraan yang tercipta pada masa Nabi Muhammad saw, sebagai manifestasi “semangat keislaman” (ghirah Islamiyyah) mengalami kemunduran. Sejarah mencatat bahwa setelah Rasulullah SAW wafat bahkan sebelum jenazah beliau dimakamkan, sudah terjadi perdebatan sengit mengenai pengganti (khalifah) nabi sebagai pemimpin Islam. Menurut banyak sumber sejarah, diantaranya Tarikh Ibn Ishak, ta’liq Muhammad Hamidi menerangkan bahwa Rasulullah saw. wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ al-Awwal tahun 11 H. dalam usia enam puluh tiga tahun. Namun jenazah beliau barulah dikebumikan pada hari Rabunya Sehingga dalam waktu tiga hari para sahabat justru sibuk mengurusi soal khalifah. Begitu juga keterangan Ibn al-Atsir dalam al-Kâmil fi aI-Târikh, Juz II,

Perdebatan berlangsung di Saqifah Bani Sa’ad yang melibatkan golongan Anshar (Aus dan Khazraj) dan golongan Muahajirin. Di sana terdengar suara minor, “dari pihak kami ada seorang pemimpin, dari kamu juga ada seorang pemimpin”. Perdebatan di Saqifah bani Sa’ad tersebut berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pertama.

Reaksi atas terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah segera berdatangan. Ada sebagian orang yang menyatakan kesetiaan dengan melantik (membai’at) secara spontan. Tetapi ada juga orang yang tidak bersedia membai’at bahkan tidak sedikit yang menyatakan keluar dari Islam (murtad). Berikut ini suatu gambaran riddah-nya (kemurtadan) bangsa Arab waktu itu:

“ketika Rasulullah SAW, wafat dan Abu Bakar mengirim pasukan yang dipimpin Usamah, maka bangsa Arab murtad. Suasana menjadi panas. Semua suku murtad kecuali suku Quraisy dan Tsaqif. Semakin kuat posisi Musailamah dan Thulhah. Mayoritas suku Thayyi’ dan Asad berkumpul di rumah Thulaihah. Suku Ghathfan murtad mengikuti “Uyainah ibn Hashn. Ia berkata: seorang nabi dari kubu Asad dan Ghathfan lebih aku sukai dari pada seorang nabi dari suku Quraisy….

Fakta sejarah di atas kalau dianalisis secara cermat memberikan indikasi bahwa munculnya fanatisme kesukuan bangsa Arab pasca Nabi sulit dibendung lagi. Sikap bangsa Arab yang susah untuk bersatu kambuh lagi. Kondisi seperti itu masih ditambah lagi dengan keengganan Ali ibn Abi Thalib untuk membai’at Abu Bakar sebagai khalifah. Baru setelah istrinya, Fatimah Zahra binti Muhammad saw, wafat Ali menyatakan bai’at.

Pada saat itu, meskipun umat Islam masih satu dalam masalah aqidah dan syari’ah, namun mereka sudah mulai terkoyak-koyak dalam kehidupan politik (siyasah). Inilah yang nantinya menjadi awal lahirnya berbagai firqah dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar