Rabu, 07 Desember 2011

Memimpin NU di Masa Genting

 
Sebagai organisasi yang memperjuangkan kemakmuran masyarakat, baik dari segi rohaniah maupun jasmaniah rakyat, maka pada masa penjajahan NU terpaksa harus menghadapi situasi pelik dalam membela rakyat, tidak jarang mereka harus bentrok dengan penjajah, bahkan pernah pemimpin tertingginya dijebloskan ke penjara, tetapi dengan sigap kepemimpinan diambil yang lain. Pemimpin NU pada masa itu memang tidak hanya punya nyali, tetapi seekaligus dituntut memiliki kemampuan politik yang memadai. Berikut ini penuturan KH Saifuddin Zuhri yang patut disimak.
Pada suatu hari datang seorang tamu. Ia turun dari dokar yang persis berhenti di depan rumahku. Aku hampir tidak mengenali tamu itu. Seorang lelaki berperawakan tinggi dan besar lagi gemuk, ia mengenakan sarung dan blangkon!.
Ia adalah K.H.A. Kholiq Hasyim, putra Hadlratusy Syaikh Hasyim Asyari Tebuireng, adik kandung K.H.A. Wahid Hasyim. Kedatangannya yang tiba-tiba itu membawa berita penting: Hadlratusy Syaikh Hasyim Asyari ditangkap Nippon dan dimasukkan ke penjara Bubutan Surabaya. Sebagian besar anggota keluarga Tebuireng dan beberapa santri senior meminta kepada Nippon agar ditangkap bersama-sama supaya bisa menemani Hadlratusy Syaikh dalam penjara. Untuk sementara waktu, K.H.A. Khaliq Hasyim aku minta untuk menetap di rumahku, sambil mengamati situasi kemungkinan pulang ke Tebuireng tenaganya dimanfaatkan untuk mengajar di Kulliyatul Muallimin.
Tentu saja Nippon tidak bisa memenuhi tuntutan orang-orang yang minta ditangkap bersama Hadlratusy Syaikh, yang bakal menyulut api permusuhan di kalangan umat Islam. Dari Gus Kholiq, aku biasa memanggilnya demikian, aku memperoleh keyakinan bahwa K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H.A. Wahid Hasyim bekerja keras mengurus pembebasan Hadlratusy Syaikh.
Tahun 1943 benar-benar merupakan tahun derita yang amat berat. Bagi NU merupakan ujian barangkali paling puncak dalam sejarahnya sejak didirikan pada tahun 1926. Rois Akbar Hadlratusy Syaikh Hasyim Asyari ditangkap oleh Dai Nippon dan dipenjarakan. Presiden Tanfidziyah HBNO K.H. Mahfudz Shiddiq, pemimpin dan organisator paling cakap juga ditangkap dan dipenjarakan oleh Nippon.
K.H. Abdul Wahab Hasbullah Katib Syuriyah HBNO mengambil alih seluruh tangung jawab memimpin NU dalam situasi paling sulit dan penuh resiko. Ia tampil ke depan dan menamakan dirinya Ketua Besar PBNU. Tindakannya untuk menyelamatkan perjuangan NU didukung oleh seluruh tokoh puncak Syuriyah dan Tanfidziyah, bukan saja bahkan melakukan baiat prasetia membantu K.H. Abdul Wahab Hasbullah apa pun akibatnya. Tokoh-tokoh puncak NU itu adalah: K.H. Abdullah Faqih wakil Rois Akbar, K.H. Abdul Manab Mutadlo wakil katib, K.H.R. Asnawi, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Ridwan, K.H. Masum, K.H. Nahrowi Tohir, K.H. Sahal Mansur, K.H. dahlan Abdulqohar, semuanya Awan Syuriyah.
Dukungan dari pihak Tanfidziyah dipelopori oleh K.H.M. Noor Vice President Tanfidziyah, K.H. Fattah Yasin Sekretariat HBNO, K.H. Tohir Bakri Ketua umum PB Ansor, Iskandar Sulaiman Konsul NU Jawa Timur I, K.H.M. Dahlan Konsul NU Jawa Timur II, K.H.M. Ilyas konsul NU Pekalongan, K.H. Mukhtar Konsul NU Banyumas, K.H. Abdul Jalil Konsul NU Kudus, Zainul Arifin konsul NU Jakarta dan lain-lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar