Agama
merupakan salah satu sumber kebudayaan. Dalam penerapan hukum syari'ah,
kebudayaan lokal (local culture) justru semakin kaya oleh nilai-nilai
baru. Dalam hal berbusana misalnya. Islam melalui IImu Fiqih hanya
memberikan norma (makna atau esensi). Norma dan makna itu berupa batasan
aurat yang harus ditutupi.
Adapun dalam hal mode pakaian, agama tidak menuntut mode tertentu
seperti mode pakaian zaman Rasul SAW. Karena agama memandang mode (makna
simbol) sebagai bagian dari semangat kreativitas tradisi, budaya.
Semangat kreativitas itu dapat berubah di setiap komunitas, tempat, dan
zaman. Sebaliknya, ketentuan menutup batasan aurat merupakan bagian dari
norma agama yang tidak berubah. Begitu juga dalam hal lainnya.
Islam diturunkan di lingkungan budaya Arab, dan Rasul SAW adalah orang
Arab. Namun dalam hal ini, Islam tidak identik dengan Arab. Atau
sebaliknya, Arab tidak identik dengan Islam. Dengan ketentuan seperti
ini, Islam akan dapat diterima dengan tumbuh subur di segala tempat,
komunitas dan zaman. Ajarannya dapat diterapkan pada karakter dan kultur
budaya masing-masing umat. Itulah bukti, nilai ajaran Islam itu
fleksibel.
Berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, Hadits menyebutkan: Kalian,
para sahabat, hidup di suatu zaman (zaman Rasul saw), bila kalian
meninggalkan 10% (sepuluh persen) dari ajaran agama (artinya, telah
menerapkan 90%), maka kalian akan hancur diazab oleh Allah. Namun kelak,
akan datang suatu zaman, kendatipun mereka baru mampu menerapkan 10%
(sepeluh persen) saja dari ajaran agama ini, mereka akan selamat dari
ancaman azab. (H.R Turmudzi).
Rasul saw menyebutkan angka 10% dalam hal tolok ukur keselamatan umat
akhir zaman. Penyebutan angka ini bersifat kontekstual. Maksudnya, -
wallahu a'lam - Rasul SAW sangat memahami dampak globalisasi terhadap
kesulitan umat dalam penerapan hukum syari'ah secara sempuma. Itulah
sebabnya, Rasul SAW menduga, lebih tepatnya memprediksi, akan ada
indikasi penurunan kuantitas dan kualitas penerapan hukum syari'ah dalam
kehidupan umat pad a akhir zaman. Terlepas dari itu semua, Hadits yang
jauh menjangkau masa depan ini (futuris) dapat dipandang sebagai
dorongan moral-spiritual bagi umat untuk berusaha semaksimal mungkin
dalam penerapan hukum syari'ah sebatas kemampuannya. Walaupun pada
akhirnya sulit untuk menerapkannya secara sempurna. Bukankah Allah SWT
sering menegaskan, bertakwa-lah sesuai dengan kadar kemampuanmu,
Ittaqullah mastatha'tum. Semakin tinggi tingkat kesulitan dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, semakin tinggi nilai penghargaan yang
diperolehnya dari Allah SWT.
Penghargaan ini terlepas dari berhasil atau tidaknya pekerjaan tersebut.
Karena yang akan ditanya Allah swt kelak pada hari kemudian adalah: Apa
upayamu? dan bukan apa hasilmu. Karena, upaya merupakan hak yang
dimiliki pihak manusia, sementara hakekat penentu keberhasilan ada di
tangan Allah swt secara mutlak. Itulah sebabnya, Allah swt tidak
menanyakan kepada hamba-Nya tentang sesuatu yang ada di tangan-Nya.
Yakni, keberhasilan.
Ekstrimisme dalam Penerapan Hukum Syari'ah
Masih berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, Rasul SAW
memperingatkan para ekstrimis yang cenderung melakukan kekerasan dalam
kehidupan beragama. Ekstrimitas adalah tindakan yang melewati batas
(radikal) yang biasanya cenderung bersifat kaku. Ekstrimitas dalam
beragama berarti perbuatan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran
agama yang bersifat berlebihan atau cenderung kaku. Mengingat bahaya
yang ditimbulkan oleh ekstrimitas ini, ada banyak Hadits yang memberi
peringatan. Peringatan tersebut tertuang di antaranya dalam Hadits
berikut:
Hati-hati dengan ekstrimisme dalam kehidupan beragama karena
kehancuran umat terdahulu terjadi karena ekstrimisme da/am kehidupan
beragama. (HR. Ahmad dan AnNasa’i)
Celaka orang-orang ekstrim !!! (diucapkan oleh Rasul SAW sampai
tiga kali). (H.R Muslim). (Perawi Hadits berkata): Orang-orang ekstrim
adalah orang-orang yang melakukan kekerasan yang bukan pada tempatnya
da/am kehidupan beragama.
Pertanyaannya, mengapa ektrimisme di dalam penerapan hukum syari'ah
dilarang Rasul saw? Mengapa beliau bahkan mewanti-wanti kepada umatnya,
kehancuran umat terdahulu terjadi disebabkan oleh ekstrimisme? Di dalam
agama, terdapat batasan wewenang manusia sebagai hamba Allah swt. Ketika
seseorang berdakwah sesuai dengan wewenangnya dalam rangka menerapkan
hukum syari'ah, ia memiliki keterbatasan terutama menyangkut
ketidakmampuan seseorang memberi hidayah kepada objek dakwah (mad'u). la
mesti sadar, Allah SWT tidak memberikan wewenang kepada siapapun untuk
mampu memberikan hidayah kepada sesamanya. Pemberian hidayah adalah
wewenang mutlak Allah SWT.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang
kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima hid ayah. (QS al-Qashash, 56).
Jangankan menusia biasa, setingkat Nabi Ibrahim as sekalipun, tidak
mampu memberikan hidayah kepada ayahnya. Nabi Nuh as tidak mampu memberi
hidayah kepada anaknya. Nabi Luth as tidak mampu memberi hidayah kepada
istrinya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri, tidak diberi wewenang
untuk bisa memberikan hidayah kepada pamannya, Abu Thalib. Apalagi
dengan manusia kebanyakan lainnya.
Atas dasar batasan wewenang manusia itulah, agama melarang segala bentuk
pemaksaan atas nama agama. Tindakan yang termasuk dilarang adalah
tindak kekerasan dan ekstrimitas dalam kehidupan beragama. Hadits Rasul
SAW berikut memberi penegasan.
Demi Allah, bila kalian tidak berbuat dosa, Allah mengganti kalian
dengan generasi baru yang berbuat dosa. Namun, mereka selalu meminta
ampun kepada-Nya dan Mahapengampun memberikan ampunan kepada mereka. (H.R Muslim)
Sepintas lalu, Hadits tersebut sepertinya menyadarkan kita, bahwa
manusia begitu rentan untuk berbuat dosa. Di dalam diri setiap manusia
telah diselipkan oleh Allah SWT berbagai unsur syahwat. Di dalamnya ada
peluang keburukan dan kebaikan. Namun, yang sebenamya sangat
"dipermasalahkan" oleh Allah swt adalah: Mengapa manusia enggan untuk
meminta ampunan kepadaNya? Mengapa manusia juga berat hati untuk
kembali dan bertaubat kepada-Nya? Padahal Allah SWT Mahapengampun dan
Dia paling suka untuk memberikan ampunan.
Tujuan utama Allah swt mengutus Rasul SAW adalah untuk menyempumakan etika, moral, dan akhlak yang mulia. Rasul SAW bersabda: Sesungguhnya aku (Rasul SAW) diutus (oleh Allah swt) untuk menyempumakan akhak (etika) yang mulia. (HR. Ahmad).
Hadits ini sang at menekankan pentingnya etika, moral dan akhlak yang
mulia. Secara khusus, dalam penerapan hukum syari'ah. Penekanan seperti
ini dapat dilihat juga dari firman Allah SWT; "Dan bila engkau (Rasul) tidak ramah dan berhati keras (dalam ber-da'wah) maka pasti orang-orang menghindar darimu." (Q.S. Ali Imran: 159)
Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan Rasul SAW agar tetap menjaga
etika di dalam melaksakan tugas da'wahnya. Jadi, siapapun tidak
dibenarkan "mengatasnamakan" penerapan hukum syari'ah dengan cara
melakukan pelanggaran terhadap etika, moral dan akhlak yang mulia.
Artinya, dalam situasi dan kondisi bagaimana pun, ia harus tetap mengacu
dan berada pada koridor tersebut.
Di samping itu, realita yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa
segala bentuk upaya yang dilakukan oleh manusia --termasuk dalam upaya
dakwah bil lisan maupun bil-hal - tingkat keberhasilan dan kegagalannya
dalam hal mendapat hidayah, sepenuhnya menjadi wewenang mutlak Allah
SWT. Keterlibatan dan segala yang diupayakan manusia menunjukkan, Allah
SWT menghargai posisi dan kapasitas manusia sebagai khalifah di muka
bumi. Namun, keberhasilan usaha seriusnya itu ada di tangan
kekuasaan-Nya. Demikian pula agenda yang pasti berjalan di lapangan
adalah agenda dan kehendak-Nya. Sesuatu yang lazim untuk dilakukan
manusia, saat melakukan upaya-upaya penerapan hukum syari'ah melalui
jalur kultur budaya religi adalah, tawakal dan bergantung hanya kepada
Allah SWT Yang Mahakuasa. Dengan begitu, keshalehan umat, ketaatan
beragama, bangsa yang berbudi dan berbudaya luhur, negeri yang makmur,
sejahtera, aman dan sentosa, semoga dapat segera terwujud.
Kesimpulan
Dinamika Hukum Islam, temyata di dalamnya terdapat beberapa hal yang cukup menarik untuk dicermati, diantaranya:
1. Allah SWT, walau memiliki otoritas absolut atas hamba-hamba-Nya,
namun sangat menghargai hamba-Nya ketika Dia menetapkan hukum syari'ah
dengan melibatkan ummat dalam memproses hukum-Nya.
2. Allah SWT menerapkan pendekatan partisipatif dengan memposisikan umat
sebagai subjek-aktif yang dihargai, dan bukan sebagai objek-pasif yang
didikte. Keterlibatan ini berlangsung mulai dari memproses hukum,
memilih altematif hukum sampai pada saat penerapan hukum syari'ah,
padahal mereka adalah hamba-Nya.
3. Keberadaan karakter dan dinamika yang terdapat dalam hukum Islam,
sebenamya memberi peluang emas yang seluas-luasnya kepada umat Islam
untuk dapat lebih pro-aktif berkreasi dengan sang at fleksibel tanpa
kaku di dalam penerapan hukum syari'ah yang berpijak pada kemampuan,
kondisi budaya lokal serta kondisi zaman dimana umat Islam berada. Dan
tentunya termasuk kita sebagai umat Islam yang hidup berdampingan dengan
umat agama lainnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berasaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Bagi sebagian orang yang kurang memahami hubungan antara agama dan
budaya, terutama kurang bisa membedakan antara hal-hal yang bersifat
normatif agama dan budaya ketika Islam diterapkan oleh Rasul SAW di
lingkungan bangsa dan budaya Arab. Maka dalam penerapan Islam-nya di
Indonesia yang terjadi adalah Arabisasi Indonesia atas nama Agama.
Padahal, sesuai dengan Karakter dan Dinamika Hukum Islam, ketika
nilai-nilai agama Islam diterapkan pada suku Sunda, maka lahirlah Budaya
Sunda Islami, begitu juga dengan Budaya Jawa Islami, Budaya Bugis
Islami dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar