Selasa, 06 Desember 2011

Peran NU dalam Pembangunan Monas

 Ketika sedang menyelesaikan pembangunan Monumen Nasional (Monas) itu pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Permesta yang berkecamuk bisa ditaklukkan. Kelompok NU yang sejak awal mengkritik pemberontakan itu, dengan gigih membantu Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menangani persoalan tersebut pada beberapa wilayah di Sumatera. Hal itu dilakukan untuk menjaga keutuhan negara dan sekaligus kerukunan bangsa.
Ketika posisi militer PRRI terus terdesak maka pimpinannya memerintahkan beberapa orang untuk menyelamatkan harta kekayaan PRRI sebagai bekal meneruskan pemberontakan, agar tidak jatuh ke tangan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang kemudian menjadi TNI. Setelah mendapat perintah itu dua kader NU Sumatera Barat (Sumbar) yang dipaksa mengikuti petualangan itu antara lain Saridin Syarif dan Djamalaudin Tarigan, Saridin Syarif mengambil sekarung emas, karena kekuatannya hanya seperti itu.
Sementara, temannya Djamaluddin Tarigan (Ketua PWNU Sumbar) membawa sekarung makanan. Tetapi mereka berdua tidak melanjutkan masuk hutan mengikuti pemberontak, melainkan mengambil jalan lain secara sembunyi-sembunyi untuk turun gunung dan keluar dari hutan. Pembelotan mereka berhasil dengan baik tanpa ketahuan pimpinan pasukan.
Setibanya di tempat yang dirasa aman dan hendak memakan perbekalan, mereka terkejut, barang yang dibawa selain berisi bahan makanan ternyata berupa emas lantakan dengan cap BI, sebagai jaminan Bank Indonesia, yang dibobol oleh Presiden Bank Indonesia (BI) sendiri Syafruddin Prawiranegara, aktivis Masyumi yang saat itu menjadi Perdana Menteri  PRRI di hutan.
Sekarung emas yang dipanggul oleh Saridin itu berat juga karena setelah ditimbang bobotnya mencapai 18 kilogram, lalu diserahkan semuanya pada Panglima Operasi 17 Agustus, yaitu Kolonel Ahmad Yani. Sekarung emas yang diangkut Saridin Syarif itu hanya sisa, berapa kuintal emas dan uang yang dibobol dari BI tidak diketahui keberadaannya, sebab setelah itu juga tidak ada penghitungan di BI.
Sebagai bukti kemenangan perang maka barang itu diserahkan oleh Kolonel Ahmad Yani pada Soekarno. Karena Soekarno merasa bahwa barang itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tetapi juga memiliki nilai historis dan politis yang sangat tinggi. Barang yang direbut dari medan perang, dengan pengerahan ribuan pasukan darat dan udara untuk menaklukkan musuh negara yang bersenjata canggih yang di-drop dari Amerika Serikat.
Oleh karenanya, emas tersebut tidak dikembalikan ke BI sebagai jaminan bank, melainkan sebagai simbol monumen perjuangan. Maka simbol kemenangan perjuangan itu diabadikan sebagai lidah api berlapis emas membara di puncak Monas yang berbentuk kobaran api revolusi perjuangan bangsa. Saridin yang menyerahkan emas rampasan perang pada Soekarno itu kemudian menjadi pengurus wilayah NU Sumbar.
Itulah kontribusi NU, tidak hanya pada pembangunan Monas, tetapi pada pembentukan bangsa ini, sebab keteguhan hati Soekarno untuk memberantas berbagai pemberontakan yang muncul baik DI-TII, PRRI-Permesta semuanya muncul setelah NU memposisikan Soekarno sebagai waliyul amri al dloruri bisyaukah, status itu akhirnya juga mengubah peran Soekarno, kalau selama ini ia hanya berfungsi sebagai simbol belaka.
Dengan gelar dan posisi dari NU itu sekarang Soekarno memiliki kekuatan politik untuk mengambil tindakan terhadap gerakan separatis. Awal mula spiritnya dari NU, dengan maunah Tuhan pula dipuncaki dengan kemenangan yang diperoleh oleh kader NU juga ketika berhasil merebut batangan emas dari tangan PRRI, yang hasilnya diabadikan di atas Monas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar