Jumat, 09 Desember 2011

ku ajarkan kamu tentang Bid'ah


BETAPA banyak Rasulullah saw mengucap kan tatowwu’an dalam hadit-hadits nya. Namanya tatowwu’ adalah bid’ah.
Ketika masalah bid’ah saya ajukan pada salah seorang kyai Buntet Pesantren, beliau justru menyuruh saya untuk melihat pada kata-kata “tatowwu’. Sebab katanya, Nabi Saw seringkali mengucap kan kata-kata itu. Setelah saya cek, benar!. Ditemukan lebih dari 139 kata ‘tatowwu’ dalam kutubuttis’ah. Tidak termasuk kalimat turu nannya (tasrifan).


Tatowwu’ dalam Al Qur’an

Di dalam alquran sendiri ada dua kata tatowwu: masing-masing pada Surat Al Baqarah, 158 dan 184)
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ الله شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyu kuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah, 158)
Kedua,
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
“Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.” (Al Baqarah, 184).
Kesimpulannya, arti tatowwu, dari ter jemah yang tertulis adalah menger jakan suatu kebajikan.
Tatowwu’ dalam Hadits
Apakah tatowwu’ itu masuk dalam kategori bid’ah? Se be lum nya mari kita lihat kata-kata tatowwu’ yang disabdakan Nabi saw. Saya ambil salah satu contoh dari kitab shoheh Bukhari no. Hadits 44. Hampir di semua kitab hadits termasuk dalam Kitab Muwatto Ibnu Malik banyak menulis ungkapan Nabi Saw dengan kaliamat “tatowwu’”. Di bawah ini adalah contoh dari Shoheh Bukhari h. No. 44.
…جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ….. هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
Artinya: seorang laki-laki dari Najd bertanya tentang Islam kepada Rasulullah saw lalu dijawab:
“Ada lima sholat sehari semalam.”
“Adakah lagikah selain sholat lima waktu buatku?”
“Tidak ada! Kecuali tatowwu’ (suatu kebajian)”
“Lalu berpuasa Ramadhan” Lanjut sabda Nabi Saw yang mulia.
“Ada lagikah selain puasa ramadhan buatku?”
“Tidak ada! Kecuali tatowwu’ (suatu kebajikan)”
“Kemudian berzakat” Sabda Nabi Saw yang mulia.
“Ada lagikah selain berzakat buatku?”
“Tidak ada! Kecuali tatowwu’ (suatu kebajikan)”
“Demi Allah, saya tidak akan menambah dan menguranginya.” Sahut lelaki itu sambil berlalu.
“Baguslah jika benar (adanya).”
Keterangan yang ditulis dalam kitab “Fathul Baari” itu merupakan dialog yang menjelaskan tentang Syareat Islam. Se men tera syahadat tidak termasuk, karena dikategorikan bukan syareat perbuatan (syarun fi’liyyah). Demikian juga syareat Haji tidak disebut karena kemungkinan belum disyareatkan atau memang perawi sengaja meringkasnya.
Kalimat “Illa attatowwu’ termasuk istisna muttashil. Menurut Al Qurthubi, hal ini karena menghilang kan kewajiban (wajib nafi) bagi yang lain. Maksudnya selain sembahyang lima waktu atau lainnya tidak ada lagi kewajiban. Terkecuali melakukan sesuatu yang dianggap baik (tatowwu’). Kemudian kata Al Qurthbi, adanya istisna menunjuk kan “nafi isbat”. Maksudnya dengan pengecualian itu, menunjukkan bahwa tatowwu’ hukumnya tidak wajib. Seolah-olah Nabi saw bersabda: “Tidak ada kewajiban sesua tupun selain shalat lima waktu, kecuali kamu ingin ber-‘tatowwu’ maka silahkan dikerjakan.
Adapun ungkapan “aflaha in shodaqo” –bagus jika benar- maksudnya menurut riwayat Ismail bin Ja’far, tidak ada perubahan sifat shalat fardu seperti menambah shalat dhuhur satu rokaat, atau menambah maghrib menjadi empat rokaat. Bahkan dalam shoheh bukhari pada hadits no-1785 menyebutkan bahwa Nabi Saw bersabda; “akan masuk syurga jika (tatowwuu’) dikerjakan dengan benar.”

Apa sih bid’ah itu?

Kamus Al Muanawwir menulis: meru pakan jamak dari kata “bida’un” artinya: perkara baru dalam agama; ciptaan baru; atau madzhab baru.
Bid’ah dalam Alqur’an menurut Tafsir Al Qurthubi, meru pakan bid’ah yang dila rang adalah seperti yang dilakukan oleh agama-agama pra Islam seperti berikut:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
Artinya: “Dan mereka (pengikut Isa bin Maryam) mengada-adakan rahbaniy yah (tidak beristri, tidak bersuami dan me ngurung diri dalam biara atau seje nisnya) padahal Kami tidak mewajib­kannya ke pa da mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya).” (Al Hadiid: 27).
Al Qurthubi dalam Tafsir Ahkamnya, me nga takan bahwa maksud kata: “kullu mu had datsin bid­’atan”, setiap yang baru adalah bid’ah, adalah sesuatu yang tidak ada syariat me ngesah kannya. Jika se suatu itu tidak ada, maka masuk dalam ayat tersebut. Katanya..

Bid’ah dalam Hadits

Tersebut dalam kitab Sunan An Nasai hadits no. 1560 khutbah Nabi saw:
….وشر الأمورمحدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار…..
“Sejelek-jelek masalah adalah yang baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka. (HR. An Nasai)
Dalam Syarah hadits ini, Sunan An Nasai lil Imam As Sayuti, mengutip perkataan Imam Nawawi: ungkapan “setiap bid’ah itu sesat” adalah perkataan umum lalu dikhususkan. Maksud­nya bid’ah itu asalnya menunjukkan umum. Sedangkan menurut ahli bahasa, “bid’ah” adalah : “kullu syai-in amalun ‘alaa ghoiri mitsaalin saabiqin” setiap sesuatu per buatan yang tanpa contoh dari orang-orang dahulu.
Imam Hafidz bin Rajab dalam Kitab “Jami’ Ulum wal Hukm” seperti yang dikutip oleh kitab “Aunil Ma’bud”, me nga takan bahwa bida’ah itu ada dua: bid’ah lughowi dan bid’ah syarie. Adapun perkataan Nabi Saw yang mulia: Kullu bid’atin dholalah. Adalah sebuah peri ngatan bagi umatnya akan adanya hal-hal yang baru yang dibuat-buat lalu diko kohkan dengan sebuah peringatan: Kullu bid’atin dolalah, setiap bid’ah itu sesat.
Lanjut kitab itu menulis bahwa arti bid’ah adalah sesuatu yang dianggap baru yang tidak berdasar pada syariat yang menun jukkanya. Namun jika ada dasar syariat nya yang menunjukkan perbuatan baru itu, maka bukan dikategorikan bid’ah syariat tapi masuk bid’ah bahasa. Itulah yang diungkap oleh Nabi : “Kullu bid’atin dlolalah”. Dalam kitab Jawamiul ka lim, sesuatu yang baru itu tidak keluar sedi kitpun dari dalil itu.
Sebagaimana perkataan ulama salaf, tulis kitab tesebut, adapula istilah “istihsan”. Ia masuk dalam kategori bid’ah tapi masuk dalam kategori bid’ah bahasa bukan bid’ah syariat. Artinya, dibo lehkan. Contoh bid’ah loghoh tapi bukan bid’ah syari adalah perkataan shahabat Umar ra:
“sebaik-baik bid’ah adalah ini” beliau menunjuk pada perkara baru yaitu shalat Tarawih. Beliau pun berkeyakinan jika itu bid’ah, senikmat-nikmatnya bid’ah. katanya:
إن كانت هذه بدعة فنعمة البدعة
Contoh lain yang masuk dalam kategori bid’ah bahasa tapi bukan bid’ah syariat adalah seperti yang ditetapkan oleh Utsman r.a. dalam menetapkan adzan pertama shalat Jum’at. Kemudian Sha habat Ali kw. mengokohkan sebagai amalan kaum muslimin.

Mengikuti Khulafaurrasyidin

Memahami bid’ah tidak terlepas dari ketetapan Nabi saw agar kita mengikuti sahabat yang empat (khulafaurrasyidin). Sebagaimana hadits nabi saw:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
“Hendaknya kalian mengikuti jalanku, dan jalan para khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk” (Menurut Abu Isa, Hadits ini Hasan Shoheh).

Bid’ah antara Sistem dan Metode

Jika kita lihat contoh-contoh di atas, maka hal ini bisa disepadankan dengan kategori sistem dan Metode. Sistem yang berlaku misalnya ingin pergi ke Jakarta. Apakah hendak menggunakan jalan darat, mau cepat atau lambat atau bahkan menggunakan kendaraan jenis apasaja. Itu semua namanya metode. Dengan sistem yang sama metode berbeda, semua akan sampai ke Jakarta. Itulah Bi’dah. Begitu jelas adanya.
Mengerjakan shalat sunnah oleh Nabi disebut ‘tatowwu’, Itulah sistem (prinsip syariah). Sedangkan metodenya adalah shalat apapun baik di kendaraan, di rumah, di masjid, waktu siang, pagi, sore atau malam. Semua itu diserahkan kepada kita. Karena masuk dalam kate gori ‘tatowwu’ atau perbuatan bagus. Jika coba-coba mengubah system, mi salnya shalat Duhur dikurangi, Magh rib ditam bah rokaatnya, maka itu keluar dari sistem. Karennya ditolak (dolalah!).
Karena itu shalat dengan berbagai waktu dan rakaat sudah ada ketentuannya. Ini masuk sistem. Lalu metodenya ada banyak nama: jika malam hari setelah tidur, disebut shalat tahajud. Jika belum tidur, qiyamulail namanya. Perkara jenis shalatnya yang mau dikerjakan diserah kan masing-masing. Jika pagi disebut shalat duha dan seterusnya. Bahkan banyak para ulama menulis ada banyak jenis shalat tatowwu: shalat qobliyah, ba’diyah, tahiyat masjid, isyrok, birrul walidain, tobat, tasbih, sunnah wudhu dan lain-lin itu semua masuk shalat sunnah mutlak, dan dikategorikan ‘tatowwu’.
Berpuasa Sunnah. Ada banyak jenis puasa. Misalnya puasa rajab. Di zaman Nabi Saw tidak ada puasa ini. Tapi Nabi saw dipersilahkan melakukan puasa ‘tatowwu’an. Jadi bentuk-bentuk puasa sunnah itu masuk metode tatowwu’an. Jadi jika kita mengikuti puasa yang dikerjakan para ulama. Tidak melanggar. Karena Ulamapun sudah meneliti dan memahami betul jenis-jenis puasa ini. Karena itu sangat jelas dan gamblang bahwa tatowwu itu adalah bid’ah.
Berdzikir. Bacaan bagus ini tidak diragukan lagi dasar hukumnya. Dzikir disuruh dibaca anywhere, anytime, any situations (Ali Imran: 191). Jadi boleh saja dibaca pada moment muludan, marhabanan, akekahan, selapanan, tahlilan, tujuh bulanan dll. Semua istilah-istilah itu merupakan produk budaya dimana orang-orang berkumpul untuk membaca shalawat, dzikir dan baca Qur’an. Benar-benar tidak ada dalam masa Rasul saw. Namun itu semua diserahkan kepada umatnya. Karena mengacu pada kata : “tatowwu’an”.
Membaca shalawat. Bukankah mem baca shalawat sistemnya sudah dibaku kan oleh syariat (Al Ahzab: 56). Karena nya shalawat berlaku dan menjadi syarat syah shalat. Sistem bacaanpun sudah baku dengan ucapan doa kepada Nabi saw dan diajarkan dalam banyak hadits shoheh: “Allahumma shalli ala Muhammadin”.
Bahkan Allah dan malaikatpun senan tiasa bershalawat kepada Rasululllah saw. Lalu para ulama membuat redaksi sha lawat. Itu baru masuk metode bersha lawat. Sehingga berbeda jenis, nama dan waktunya: ada shalawat tafrijiyah, shala wat nariyah, shalawat fatih dll. Semua itu disebut metode (cara/penamaan). Dan semuanya diawali dengan ucapan sperti diajarkan Rasul: “Allahumma shalli ‘alaa muhammadin”. Jika shalawat terdapat dalam al qur’an disebut shawalat yang bersyar’i maka shalawat yang masuk kategori ‘tatowwu’ adalah yang berma cam-macam tadi.
Shalawat berbentuk syair. Ini pun masuk metode bershalawat. Maka lahirlah karya: Barzanji, oleh Sayyid Ja’far Al Barzanji; Addiba’i, Natsar, Syarful Anam, Ratibul Haddad, Qasidah Burdah dan lain-lain. Semua itu adalah pengem bangan dari metode bershalawat, karena tatowwu’ tadi.
Jadi semua itu bukanlah bid’ah syari’ tetapi masuk dalam kategori bid’ah lughowi. Sebagaimana Umar dan Ustman pun melakukan bid’ah lughowi. Bagai mana menetapkan Shalat tarawih dan adzan pertama Jum’at sebagai “ni’matul bid’ah hadzihi” inilah sebaik-baik bid’ah.
Singkatnya bid’ah yang disebut di atas, tidak melanggar syariat. Karena masuk dalam kategori tatowwu’. Dan bid’ah-bid’ah yang tidak melanggar syari’at itu masuk kategori ‘tatowwu’ (perbuatan baik).
———
Agama Islam sudah sempurna, apa yang kemudian dikerjakan adalah bagian dari kesempuarnaan itu, termasuk hal-hal yang baru dalam agama namun bernilai baik itu pun diizinkan Nabi. Jadi plis deh ah, jangan menyebarkan pitnah eh fitnah, kepada umat Islam dengan mengatasnamakan Islam apalagi mengatasnamakan Rasulullah shallahu a’alaihi wasallam.
“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar